Pencapaian KPPIP Semester 2 2017

PENCAPAIAN KPPIP – SEMESTER 2 2017 (Juli – Desember 2017)

A. Dukungan Penyiapan Proyek

Outline Business Case (OBC) Pelabuhan Hub Internasional (PHI) Bitung

BC PHI Bitung bertujuan untuk merumuskan sinkronisasi dan integrasi pembangunan PHI Bitung dengan pelabuhan eksisting di Bitung, KEK Bitung, dan Pulau Lembeh, serta memberikan rekomendasi pembangunan daerah, alternatif pola kelembagaan, dan skema pendanaan yang paling optimal. KPPIP memberikan fasilitas untuk melakukan penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) pengadaan konsultan OBC dengan meminta masukan terhadap para pemangku kepentingan, khususnya Kementerian Perhubungan.

Pada Bulan April 2017, KPPIP telah melakukan lelang untuk pengadaan konsultan penyusun OBC PHI Bitung. Pengadaan jasa konsultan telah selesai pada bulan Mei 2017 dengan pemenang terpilih adalah konsorsium PT Mott MacDonald Indonesia, PT Deloitte Konsultan Indonesia, dan PT Hanafiah Ponggawa & Partners. Pelaksanaan penyusunan OBC PHI Bitungtelahdimulaidengandilaksanakannya kick-off meeting pada 6 Juni 2017. Dalam pelaksanaannya, KPPIP selalu melibatkan para pemangku kepentingan dalam setiap tahapan, dengan melaksanakan dua Rapat Koordinasi (25 Juli 2017 dan 18 Oktober 2017), dua Focus Group Discussion (1 Agustus 2017 dan 8 November 2017), dan dua Market Consultation (28 November 2017 dan 6 Desember 2017).

Penyusunan OBC PHI Bitung ini menghasilkan preliminary analysis terhadap kondisi dan tren perdagangan dan pelayaran di Bitung dan area terkait, alternatif pembangunan PHI Bitung dari sisi teknis, penilaian nansial dan ekonomi, penilaian hukum dan peraturan terkait, dan struktur pengembangan PHI Bitung. Analisis terhadap kondisi dan tren perdagangan dan pelayaran di Bitung dan area terkait menyimpulkan bahwa perlu dilakukan upaya peningkatan kelayakan Pelabuhan Hub Internasional Bitung dalam hal skala arus (throughput). Dengan sendirinya, Pelabuhan Hub Internasional Bitung diperkirakan akan menghasilkan hingga 21,4 juta ton per tahun pada tahun 2050. Tahap pertama pengembangan KEK Bitung sampai dengan 534 Ha akan menciptakan tambahan throughput untuk Pelabuhan Hub Internasional Bitung sebanyak 2,4 juta ton per tahun pada tahun 2050, namun perluasan menuju 2,000 Ha harus dilakukan untuk membenarkan perluasan kapasitas. Ekspansi tersebut akan menghasilkan tambahan arus sebesar 11,9 juta ton per tahun.

Di sisi lain, bisa dilihat bahwa untuk menetapkan Bitung sebagai Pelabuhan Hub Internasional diperlukan kebijakan pemerintah yang tegas agar dapat mengalihkan lalu lintas pelayaran ke Bitung dan menjadikan Bitung sebagai Hub untuk kawasan Indonesia Timur. Tambahan arus yang dapat diperoleh dari pengalihan ini berkisar 21,1 hingga 45,9 juta ton per tahun pada tahun 2050, tergantung pada daerah tangkapan air. Namun, mengingat keunikan dan kemungkinan adanya konsekuensi yang tidak diinginkan, analisis lebih lanjut diperlukan untuk memvalidasi skenario Hub bagian Timur.

Analisis terhadap alternatif pembangunan dari sisi teknis, diperkirakan bahwa Matrik kebutuhan infrastruktur berikut perlu dipenuhi untuk berbagai jenis fasilitas berikut:

  • Kontainer: ~1,500 sampai 2,000 TEU/lineal metre berth line atau kurang lebih 30,000 TEU/hectare container terminal area
  • Curah Cair: 3 sampai 5 Mtpa/berth, dan tank farm yang berkapasitas 5 sampai 20 storage turnovers per tahun (tergantung produk/pembeli)
  • Curah Kering: 10 sampai 25 Mtpa/berth, dan stockyard dengan kapasitas untuk menyimpan arus tahunan 5-25% tergantung produk.
  • Break bulk dan general cargo: 2 sampai 5 Mtpa/berth dan didukung kapasitas ~2Ha dock side storage per Mtpa.

Analisa teknis juga menyimpulkan bahwa dibutuhkan integrasi pembangunan transportasi darat dari dan ke Bandara Sam Ratulangi, pembangunan jalan layang penghubung Pelabuhan Bitung ke Pleabuhan di KEK Bitung, Tanjung Merah, percepatan pelaksanaan proyek kereta api Manado-Bitung, dan pengembangan jaringan rel antar kota, terutama pada jalur prioritas tinggi termasuk Kema-Belang-Tutuyan-Molibagu-Gorontalo untuk terhubung dengan desain jaringan kereta api Manado-Bitung.

Analisis kelayakan nansial proyek dilakukan pada 2 (dua) alternatif skenario pengembangan yang telah dipilih untuk analisis sentivitas:

  • Model Master Developer, dimana investor hanya akan berperan sebagai Port Developer
  • Model Bundled Developer and Operator, dimana investor akan berperan sebagai Port Developer dan Operator

Hasil analisis mengindikasikan bahwa di model Master Developer (investor hanya berperan sebagai developer), proyek tersebut dapat menghasilkan laba sebesar USD 1,80 miliar (Net Present Value bersih setelah pajak) atau 11.4% (real-IRR setelah pajak) selama masa konsesi sampai tahun 2050.

Meskipun, jika investor juga mengambil peran operator di model Developer and Operator, proyek tersebut akan menghasilkan pengembalian sebesar USD 259 juta (Net Present Value bersih setelah pajak) atau 4.6% (real-IRR setelah pajak) selama masa konsesi sampai tahun 2050. Berdasarkan penilaian keuangan, pengembalian proyek menunjukkan bahwa proyek tersebut dapat berjalan secara marginal. Namun, hal ini mengasumsikan bahwa proyek tersebut membutuhkan dukungan nansial yang substansial dari pemerintah, terutama dalam bentuk akuisisi lahan untuk pelabuhan, KEK, dan sambungan jalan layang. Di sisi lain, model Developer and Operator menunjukkan bahwa pengaturan tarif  yang ada untuk layanan kargo di Bitung juga harus ditinjau kembali agar operator tersebut layak secara finansial.

Analisis dampak ekonomi PHI Bitung melalui CBA (Cost Bene t Analysis) menunjukkan bahwa pengembangan proyek dapat memberikan manfaat ekonomi yang signi kan. Dalam opsi skenario master developer, biaya ekonomi yang ditimbulkan proyek adalah USD 2,67 Milyar dengan keuntungan ekonomi sebesar USD 2,68 Milyar. Sedangkan dalam opsi skenario bundling port developer dan operator, biaya ekonomi yang ditimbulkan proyek adalah USD 2,55 Milyar dengan keuntungan ekonomi sebesar USD 2,67 Milyar. Stimulus ekonomi pengembangan pelabuhan dapat memiliki dampak ekonomi yang lebih luas. Misalnya, di mana diperkirakan akan ada peningkatan KEK yang signifikan, diharapkan perkembangan Pelabuhan akan merangsang pertumbuhan ekonomi regional.

Analisa hukum dan peraturan menghasilkan daftar isu- isu sebagai berikut yang memiliki dampak terhadap rencana pengembangan Bitung sebagai pelabuhan hub internasional: 

  1. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung:
    a. Pembebasan lahan
    b. Penguasaan lahan oleh masyarakat
    c. Jangka waktu siap operasi KEK Bitung
    d. Rencana Pengembangan KEK Bitung sampai  dengan 2.000 Ha
    e. Rencana Pembangunan Jalur Kereta Api Ringan
  2. Rencana Pengembangan Pelabuhan Bitung
  3. Larangan Pemindahan Muatan Ikan di Tengah Laut
  4. Konsolidasi atas Pengangkutan Barang atau Jalur Pelayaran ke Indonesia Timur melalui Pelabuhan Bitung
  5. Ketiadaan Kriteria Teknis atas Suatu Pelabuhan Hub Internasional
  6. Birokrasi yang Diterapkan Pemerintah Filipina atas Impor Semen
  7. Menurunnya Ketersediaan Kelapa Biji di Sulawesi Utara
  8. Aspek Pertahanan Keamanan dalam Pengembangan Pelabuhan Hub Internasional di Bitung.

Terkait dengan tahapan pengembangan, PHI Bitung akan mengakomodasi Masterplan pengembangan Pelabuhan Bitung eksisting yang telah disusun oleh PT Pelindo IV. 

Masterplan Intermoda Pelabuhan Patimban

Dalam rangka memastikan rencana pembangunan Pelabuhan Patimban terintegrasi lintas sektor, KPPIP melakukan pengadaan jasa konsultansi
untuk penyusunan masterplan infrastruktur jalan raya dan jalan rel sebagai pendukung integrasi intermoda Pelabuhan Patimban. Konsorsium PT WorleyParsons Indonesia dan PT KPMG Indonesia terpilih sebagai Tim Konsultan Penyusun Masterplan.

Pelaksanaan penyusunan masterplan telah dimulai dengan dilaksanakannya kick-off meeting pada 14 Juni 2017. Dalam pelaksanaannya, KPPIP selalu melibatkan para pemangku kepentingan dalam setiap tahapan, dengan melaksanakan dua Rapat Koordinasi (28 Agustus 2017 dan 5 Desember 2017), dan dua Focus Group Discussion (18 September 2017 dan 2 November 2017).

Berdasarkan hasil kajian, Masterplan mempertimbangkan 3 opsi jalur rute terpadu yang terpisah. Pilihan ini mencakup proposal 3 jalan tol yang terpisah dan dua jalur rute rel yang terpisah. Masterplan termasuk Jalan Akses Pelabuhan yang menghubungkan Jalan Raya Nasional Pantura dan Pelabuhan Patimban yang ada dan menghitung perkiraan waktu tempuh untuk lalu lintas logistik pada berbagai alternatif akses. Masterplan juga mencakup evaluasi ekonomi dan finansial. Evaluasi IRR (Tingkat Pengembalian Internal) dan NPV (Net Present Value) dilakukan terpisah untuk masing-masing opsi. Jalan akses pelabuhan dan akses rel didanai oleh Pemerintah sebagai bagian dari pinjaman JICA. Jalan tol akan didanai di bawah skema KPBU. Masterplan merincikan analisa struktur pendanaan, IRR proyek, ekuitas, dan studi sensitivitas yang mendeskripsikan potensi dampak terhadap kinerja nansial/ekonomi proyek jika terjadi perubahan beberapa parameter proyek.

Masterplan juga menyajikan aspek estimasi Belanja Modal (CAPEX) dan Biaya Operasi dan Pemeliharaan (OPEX) untuk beberapa alternatif. Lebih lanjut, Masterplan memberikan jadwal singkat untuk Pembangunan Proyek dari penerapan Jalan Akses Pelabuhan melalui jalan tol hingga penyelesaian akses rel. Rangkuman daftar risiko, keuntungan, dan kerugian juga disajikan di dalam Masterplan untuk setiap pilihan akses transportasi pelabuhan, begitu juga dengan sistem antarmoda terpadu yang dipilih.

Penyusunan masterplan ini menghasilkan rekomendasi integrasi rencana pembangunan infrastruktur intermoda meliputi jalan nasional, tol, dan rel dengan mempertimbangkan kesesuaian tata ruang, demand atas pelabuhan, dan efisiensi waktu tempuh dari Pelabuhan Tanjung Priok dan kawasan industri di Cikarang dan Karawang menuju Pelabuhan Patimban dan sebaliknya, serta sinergi dengan infrastruktur transportasi eksisting. Berdasarkan hasil kajian sementara, rekomendasi akses intermoda yang memiliki tingkat efesiensi dan efektivitas paling baik berdasarkan aspek teknis, tata ruang dan lingkungan serta finansial adalah Opsi A, yaitu:

  1. Jalan akses pelabuhan yang terhubung dari jalan nasional Pantura sesuai kajian Ditjen Bina Marga, Kementerian PUPR;
  2. Jalantol dengan memodifikasiSimpangSusun Subang; dan
  3. Jalan rel sejajar dengan jalan tol dari titik awal pada Stasiun Pegaden Baru.

Penyusunan masterplan telah selesai dengan dilaksanakannya Presentasi Akhir kepada internal KPPIP pada 21 Desember 2017 dan sejumlah masukan yang disampaikan akan dimasukkan dalam Laporan Akhir.

Outline Business Case (OBC) Jalan Tol Yogyakarta - Bawen

Jalan Tol Yogyakarta – Bawen merupakan salah satu jalan tol yang menjadi Proyek Prioritas sejak tahun 2017. Studi Kelayakan proyek ini telah
selesai pada tahun 2008. Namun, studi kelayakan tersebut dianggap sudah tidak relevan dan diperlukan pemutakhiran data, maka KPPIP memfasilitasi penyusunan Outline Business Case (OBC) untuk menghasilkan dokumen OBC yang sesuai dengan kondisi aktual dan sesuai dengan standar OBC yang telah ditetapkan Pemerintah melalui Permen Bappenas Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam rangka penyusunan OBC, KPPIP telah melakukan lelang pengadaan konsultan penyusun OBC dimana PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory ditetapkan sebagai pemenang lelang. Penyusunan OBC ditargetkan selesai pada Desember 2017.

Selama penyusunan OBC, KPPIP secara intensif melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Beberapa rapat yang telah dilakukan antara lain:

  • Rapat Koordinasi Kemajuan OBC untuk melaporkan progress penyusunan OBC kepada Kementerian PUPR
  • Rapat koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan DIY
  • Rapat dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur D.I. Yogyakarta
  • Rapat dengan Bupati Magelang
  • Rapat dengan Bupati Temanggung 

Salah satu tahap yang paling signi kan dalam penyusunan OBC Jalan Tol Yogyakarta-Bawen adalah pada penyusunan trase jalan tol. Setelah melalui analisis dan berbagai rapat pembahasan, terdapat beberapa opsi trase Jalan Tol Yogyakarta – Bawen sebagai berikut:

  1. Pada daerah Jawa Tengah, terdapat dua opsi yaitu:
    a. Opsi 1: Melewati sisi Timur Kabupaten Magelang
    b. Opsi 2: Melewati sisi Barat KabupatenMagelang
  2. Pada daerah D.I. Yogyakarta, terdapat dua opsi yaitu:
    a. Opsi A: at grade
    b. Opsi B: elevated melewati Selokan Mataram
    c. Opsi C: ujung tol di Yogyakarta tersambung di rencana jalan outer ring road

Berdasarkan analisis dan metode penilaian terhadap parameter teknis dan lingkungan dan biaya, maka Opsi 1 terpilih sebagai alternatif terbaik (ranking I), sedangkan untuk parameter biaya Opsi B memiliki opsi dengan biaya modal yang lebih tinggi. Namun demikian dengan mempertimbangkan masukan yang diterima dari pemerintah daerah setempat serta diskusi yang telah dilakukan dengan para pemangku kepentingan, Opsi 1B dinilai sebagai rute yang paling optimal dan ditetapkan sebagai rute terpilih. Rute tersebut menghindarkan isu besar berkaitan dengan pembebasan lahan dan dampak sosial selama pelaksanaan proyek, khususnya di provinsi D.I. Yogyakarta.

Dari aspek komersial, OBC telah mencakup analisis mengenai indikasi kelayakan nansial proyek dengan menggunakan asumsi – asumsi dan data yang sebagian besar didapatkan melalui survei dan analisis yang telah dilakukan sebagai bagian dari kajian ini. Adapun analisis kelayakan nansial dalam OBC dilakukan berdasarkan beberapa skenario model bisnis, yaitu skenario model bisnis user based payment; dimana pemegang konsesi akan mendapatkan pengembalian investasi berdasarkan pendapatan dari pengguna jalan tol, dan model bisnis Availability Payment; dimana pengembalian investasi didasarkan pada pembayaran dari Pemerintah atas tingkat ketersediaan layanan infrastruktur yang dioperasikan oleh pemegang konsesi.

Analisis kelayakan finansial yang dilakukan dalam OBC menghasilkan nilai tingkat kelayakan proyek yang mengindikasikan bahwa proyek belum mencapai tingkat pengembalian investasi yang diharapkan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan kelayakan proyek ini antara lain dengan menggunakan skema Availability Payment. Namun demikian, nilai tersebut dihasilkan dari data yang
tersedia pada saat OBC disusun dan masih mungkin berubah apabila terdapat perubahan tertentu terhadap asumsi – asumsi utama yang digunakan.
Aspek lain yang dikaji dalam OBC ini diantaranya analisis Value for Money (“VfM”) yang dilakukan dengan membandingkan pembangunan proyek dengan skema pengadaan barang dan jasa konvensional pemerintah dari pengadaan melalui skema KPBU. Hasil analisis yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa pengadaan melalui skema KPBU berpotensi untuk memberikan penghematan kepada Pemerintah sekitar Rp 696 milyar atau sebesar 14,64% dari nilai Proyek pada skenario kontrak pengadaan barang/jasa (KPBJ) oleh Kementerian PUPR menggunakan APBN Skema pengadaan KPBU memang akan lebih rumit secara proses pengadaan jika dibandingkan dengan skenario KPBJ, tetapi skema KPBU memiliki lebih banyak keunggulan yang akan membantu menghasilkan Proyek yang lebih baik dengan risiko lebih rendah kepada Pemerintah.
Dari aspek kelayakan ekonomi dari Proyek, OBC telah memuat analisis biaya manfaat sosial ekonomi yang hasilnya mengindikasikan bahwa manfaat Proyek Jalan Tol Jogja-Bawen akan lebih besar daripada biaya Proyek. Berdasarkan Analisis Manfaat Ekonomi dan Biaya Sosial, Proyek Jalan Tol Jogja-Bawen diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat berikut:

  • Menghasilkan manfaat ekonomi senilai Rp. 40 triliun (dalam nilai saat ini) selama 40 tahun jangka waktu perjanjian.
  • Memberikan tingkat imbal hasil ekonomi yang positif dengan nilai bersih saat ini sebesar Rp. 31,1 Triliun dan EIRR sebesar 21%. Hal ini mencerminkan investasi yang memiliki justi kasi secara ekonomi dengan rasio manfaat-biaya sebesar 4,5.

Selain aspek teknis, aspek ekonomi, dan aspek komersial, kajian yang dilakukan pada OBC ini juga mencakup analisis dari aspek hukum dan kelembagaan. Analisis hukum dilakukan dengan tujuan untuk: 

  1. Memastikan bahwa Proyek dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan aspek-aspek :
    (a) Pendirian Badan Usaha;
    (b) Penanaman modal;
    (c) Persaingan usaha;
    (d) Lingkungan;
    (e) Keselamatan kerja;
    (f) Pengadaan tanah;
    (g) Pembiayaan KPBU, termasuk mekanisme pembiayaan pendapatan;
    (h) Perizinan KPBU;
    (i) Perpajakan; dan
    (j) Peraturan terkait lainnya;
  2. Menentukan risiko hukum dan strategi mitigasinya;
  3. Mengkaji kemungkinan penyempurnaan peraturan
    perundang-undangan yang baru;
  4. Menentukan jenis-jenis perizinan/persetujuan
    yang diperlukan; dan
  5. Menyiapkan rencana dan jadwal untuk memenuhi
    persyaratan peraturan dan hukum.

Analisis kelembagaan Proyek dilaksanakan dalam rangka: 

  1. Memastikan kewenangan PJPK dalam melaksananakan Proyek;
  2. Melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder) dengan menentukan peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang berkaitan dalam pelaksanaan Proyek; 
  3. menentukan peran dan tanggung jawab Tim KPBU berkaitan dengan kegiatan penyiapan kajian awal Prastudi Kelayakan, penyelesaian kajian akhir Prastudi Kelayakan, dan menentukan sistem pelaporan Tim KPBU kepada PJPK;
  4. Menentukan dan menyiapkan perangkat regulasi kelembagaan; dan
  5. Menentukan kerangka acuan pengambilan keputusan.

Pada tanggal 3 Oktober 2017, dilaksanakan pembahasan mengenai penetapan trase Jalan Tol Yogyakarta – Bawen yang merupakan bagian dari penyusunan OBC diselenggarakan oleh Badan Pengatur Jalan Tol hasil disepakati untuk menetapkan opsi 1 (wilayah Jawa Tengah) dan opsi B (wilayah D.I. Yogyakarta) sebagai trase Jalan Tol Yogyakarta – Bawen dengan mempertimbangkan aspek teknis dan sosial.

Dengan telah didapatkannya persetujuan trase dari para pemangku kepentingan, saat ini Direktorat Jenderal Bina Marga sedang menyusun surat kepada Gubernur Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta terkait dengan permohonan untuk penerbitan Penetapan Lokasi untuk rute jalan tol tersebut. 

AMDAL Jalan Tol Yogyakarta – Bawen

Penyusunan AMDAL Jalan Tol Yogyakarta – Bawen dilakukan secara bersamaan dengan penyusunan OBC Jalan Tol Yogyakarta – Bawen. KPPIP telah
mengadakan lelang untuk pemilihan konsultan penyusun AMDAL dan hasilnya, PT Karsa Buana Lestari sebagai konsultan AMDAL yang bertugas menyelesaikan penyusunan AMDAL hingga terbitnya Izin Lingkungan dari Kementerian LHK dengan jangka waktu pelaksanaan selama 5 bulan terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2017.

Seperti pada penyusunan OBC, KPPIP secara intensif melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah. Pada tanggal 14 Agustus 2017, KPPIP mengadakan Kick Off Meeting Pelaksanaan Pekerjaan Studi AMDAL Jalan Tol Yogyakarta – Bawen dengan mengundang pemangku kepentingan terkait. Dalam Kick Off Meeting tersebut, peserta rapat menilai perlu adanya percepatan penetapan trase agar konsultan AMDAL dapat mulai melakukan proses sosialisasi dan survey.

Penyusunan AMDAL Jalan Tol Yogyakarta – Bawen dilakukan secara bersamaan dengan penyusunan OBC Jalan Tol Yogyakarta – Bawen. Dalam penyusunan AMDAL pun dibutuhkan kepastian trase yang dipilih dimana penetapan trase masuk dalam lingkup pengerjaan OBC. Oleh karena itu, dalam hal ini KPPIP terus melakukan sinkronisasi informasi dan kemajuan dari penyusunan kedua studi tersebut. Tujuan dari sinkronisasi informasi tersebut adalah untuk memastikan pengerjaan AMDAL tidak terhambat akibat ketidaksamaan informasi-informasi utama yang menjadi dasar penyusunan AMDAL dan OBC Jalan Tol Yogyakarta Bawen.

Menimbang belum tercapainya kepastian trase diantara pemangku kepentingan dari target jadwal awal, maka penyusunan Dokumen AMDAL masih dalam tahap penyusunan Dokumen Kerangka Acuan (KA) ANDAL dan Izin Lingkungan ditargetkan untuk diterbitkan pada April 2018.

Real Demand Survey dan Perhitungan Capital Expenditure SPAM Semarang Barat

Proyek SPAM Semarang Barat adalah salah satu Proyek Prioritas dengan skema KPBU. Penyiapan proyek SPAM Semarang Barat telah dimulai sejak tahun 2012, dimulai dengan real demand survey yang disusun oleh JICA pada tahun 2012, OBC yang disusun oleh PT Indonesia Infrastructure Finance pada tahun 2014, dan pembaharuan OBC pada tahun 2017.

Melalui evaluasi atas studi-studi tersebut, KPPIP menilai bahwa perlu dilakukan pembaharuan real demand survey untuk mendapatkan gambaran terkini yang akurat atas kebutuhan dan permintaan air bersih di wilayah yang nantinya akan menjadi area pelayanan Proyek KPBU SPAM Semarang Barat. Hasil real demand survey yang telah diperbaharui akan menjadi acuan dalam penyusunan Final Business Case (FBC) yang ditawarkan kepada para calon investor. Bersamaan dengan pelaksanaan real demand survey, KPPIP juga menginisiasi perhitungan capital expenditure (CAPEX) perpipaan untuk memperkirakan nilai kebutuhan investasi jaringan perpipaan yang harus ditanggung oleh calon investor. PT SMEC Denka Indonesia terpilih sebagai pelaksana studi.

Kick-off meeting dari studi real demand survey dilakukan pada 4 September 2017 dan dilanjutkan dengan proses pengumpulan data oleh PT SMEC Denka melalui koordinasi dengan Pemerintah Kota Semarang dan PDAM Tirta Moedal sebagai PJPK SPAM Semarang Barat. Pada 27 November 2017, dilakukan focus group discussion tentang hasil real demand survey dan perhitungan capex perpipaan yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR, Pemerintah Kota Semarang, PDAM Kota Semarang, dan PT SMI.

Studi real demand survey dan CAPEX perpipaan telah diselesaikan pada bulan November 2017 dan menjadi masukkan bagi pihak Kementerian Keuangan dan PT SMI yang mendampingi proses penyiapan transaksi Proyek SPAM Semarang Barat. Adapun hasil akhir dan kesimpulan studi yang KPPIP telah sampaikan kepada pemangku kepentingan Proyek SPAM Semarang Barat adalah sebagai berikut:

  1. Pada saat ini tingkat pelayanan air bersih di daerah pelayanan Semarang Barat yaitu di Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Ngaliyan, dan 
    Kecamatan Tugu adalah sebesar 44,26%. Dengan demikian, masih diperlukan peningkatan pelayanan air minum kepada masyarakat di wilayah Semarang Barat. Sesuai dengan target Pemerintah dalam pemenuhan sustainable development goals (SDGs) dengan pelayanan 100% pada tahun 2019, masih ada potensi untuk meningkatkan pelayanan sebesar 56%;
  2. Hasil real demand survey memperlihatkan indikasi target pelayanan 86%. Namun demikian, perlu terdapat terobosan dalam bentuk sosialisasi dan ajakan kepada masyarakat untuk memasang sambungan baru oleh PDAM dan diterbitkannya regulasi yang melarang penggunaan air tanah sumur dalam agar masyarakat berminat menjadi pelanggan PDAM;
  3. Sistem SPAM Semarang Barat dapat dimungkinkan membuat instalasi pengelolaan air dengan kapasitas 1.000 l/dt namun perlu ada strategi khusus dalam mencapai target penyerapan;
  4. Pilihan pipa untuk jalur transmisi adalah kombinasi pipa berjenis baja, High Density Polyethylene (HDPE), dan Polyvinyl Chloride (PVC). Untuk pilihan pipa distribusi pun sama dengan kombinasi pipa transmisi yaitu pipa baja, HDPE, dan PVC; dan
  5. Rancangan total perhitungan biaya investasi jaringan perpipaan yang dimutakhirkan oleh konsultan adalah sebesar Rp 357,8 milyar untuk jenis material pipa transmisi baja dan pipa distribusi utama HDPE, Rp 297,3 milyar untuk jenis material pipa transmisi dan pipa distribusi utama HDPE, dan Rp 202,9 milyar untuk jenis material pipa transmisi dan pipa distribusi utama PVC.

Penyusunan Model Finansial untuk Proyek PLTSa

Proyek PLTSa merupakan salah satu Proyek Prioritas yang ditetapkan pada tahun 2017. Pemerintah daerah sebagai PJPK Proyek PLTSa telah menyatakan bahwa anggaran daerah untuk biaya pengolahan sampah (processing fee) sangat terbatas. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Tangerang menyatakan bahwa maksimal nilai processing fee yang dapat dianggarkan sebesar Rp 100.000/ton. Oleh sebab itu, Proyek PLTSa direncanakan akan menggunakan skema KPBU. Dalam penyusunan OBC tentunya dibutuhkan pembuatan model nansial untuk mengetahui besaran nilai tipping fee. Untuk mendapatkan besaran nilai tipping fee, KPPIP dengan dukungan konsultan Forecast Financial Modelling telah membuat pemodelan nansial dan ekonomi untuk PLTSa Tangerang dalam rangka pengembangan kapasitas. Forecast Financial Modelling memberikan template worksheet kepada KPPIP untuk menghitung nilai tipping fee.

Perhitungan nansial dilakukan dengan menggunakan asumsi teknik dan nansial berdasarkan dari kajian- kajian yang dilakukan oleh multilateral agency
(Internasional Financial Cooperation, Ministry of Environment Japan) untuk proyek PLTSa Tangerang dan Denpasar.
Berdasarkan dari hasil kajian nansial yang telah dilakukan oleh KPPIP, dengan asumsi bahwa volume sampah 1.000 ton/hari dengan nilai kalori 1.300 kcal/kg, daya listrik yang dihasilkan adalah 16 MW (gross), tarif listrik bernilai US$ 18,77 cent/kWh (Rp 2.533,95/kWh), bunga pinjaman 4,6%, menghasilkan IRR 8,1 – 9,3% dan nilai NPV positif bila:

  1. Untuk biaya modal $ 90 juta dibutuhkan tipping fee sebesar Rp 200.000/ton
  2. Untuk biaya modal $ 116 juta dibutuhkan tipping fee sebesar Rp 375.000/ton

KPPIP telah menginformasikan hasil perhitungan tipping fee kepada pemangku kepentingan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Saat ini peraturan tipping fee sedang dalam tahap penyusunan oleh Kementerian Dalam Negeri.

B. Penetapan Skema Pendanaan Proyek

Kereta Api Ekspres Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Proyek Kereta Api Ekspres Bandara merupakan pembangunan moda transportasi alternatif menuju Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) dimana salah satu bagiannya adalah Kereta Ekspres SHIA terdedikasi. Pada tahun 2013, Menteri Perhubungan telah menetapkan trase Kereta Ekspres SHIA terdedikasi melalui Halim – Manggarai – Dukuh Atas – Tanah Abang – Pluit – SHIA. Akan tetapi, pada tahun 2015 terdapat rencana untuk perubahan trase menjadi melewati Gambir.

Meskipun trase telah ditetapkan, skema pendanaan proyek ini belum ditetapkan. Pada tahun 2014, Pra-studi kelayakan selesai disusun oleh PT SMI dan telah disetujui oleh Dirjen KA Kemenhub pada September 2014. Skema pendanaan proyek yang direkomendasikan adalah KPBU. Pada Oktober 2015, Menteri Perhubungan mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa kegiatan penyiapan proyek hingga pembangunan prasarana akan dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan, sehingga fasilitasi PT SMI tidak dilanjutkan.

Hingga November 2017 belum terdapat kejelasan terkait tindak lanjut penyiapan proyek oleh Kementerian Perhubungan. Menindaklanjuti hal tersebut, KPPIP memfasilitasi pengambilan keputusan terkait kelanjutan proyek melalui Rapat Tim Pelaksana KPPIP dan Rapat KPPIP Tingkat Menteri. Melalui Rapat KPPIP Tingkat Menteri Oktober 2017 dan pertemuan lanjutan dengan Direktur Jenderal Perkeretaapian, pada akhirnya KPPIP mendapatkan kon rmasi bahwa proyek Kereta Ekspres SHIA terdedikasi akan tetap dilanjutkan, namun akan dilakukan kajian terlebih dahulu terkait trase yang akan digunakan untuk pengembangan proyek. Langkah lain yang diperlukan untuk melanjutkan proyek adalah penyusunan ulang Pra-studi Kelayakan.

Pelabuhan Hub Internasional (PHI) Kuala Tanjung

Menindaklanjuti hasil Rapat Komite pada Juni 2017, telah diselenggarakan serangkaian rapat di tingkat teknis untuk menyepakati skema pengembangan proyek menggunakan skema bundling untuk pengembangan area pelabuhan, terminal pelabuhan dan kawasan industri. Hingga pada Rapat Komite pada Oktober 2017, pembahasan mengarah pada skema pengembangan unbundling dimana pengembangan proyek akan dilakukan terpisah antara area pelabuhan dan terminal pelabuhan dengan area kawasan industri. Menanggapi keputusan ini,

Kementerian Perindustrian tengah mengoordinasikan pembahasan skema pengembangan area kawasan industri dengan pemangku kepentingan. Sedangkan untuk pengembangan area pelabuhan dan terminal pelabuhan direncanakan untuk dilanjutkan oleh PT Pelabuhan Indonesia I mengingat pembangunan area pelabuhan tahap I, yaitu pembangunan terminal multipurpose telah berjalan. Finalisasi skema pengembangan proyek ini akan di nalisasi pada awal Tahun Anggaran 2018

SPAM Semarang Barat

Menindaklanjuti hasil Rapat Tim Pelaksana KPPIP pada Maret 2017 yang membahas perbandingan skema pendanaan APBN dan KPBU untuk proyek SPAM Semarang Barat, KPPIP menginisiasi pembahasan perbandingan skema pendanaan dengan Direktorat Pengembangan SPAM, Kementerian PUPR. KPPIP mendorong penerbitan surat dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada Menteri PUPR No. S- 55/M.EKON/03/2017 pada Maret 2017 untuk menegaskan kembali bahwa skema pendanaan proyek SPAM Semarang Barat adalah KPBU. Menanggapi surat tersebut, Menteri PUR kemudian menerbitkan surat No. PR.01.03-Mn/301 kepada Walikota Semarang yang menyampaikan bahwa skema yang didukung Pemerintah untuk penyelenggaraan SPAM Semarang Barat adalah KPBU. Dengan demikian, penyiapan proyek dapat dilanjutkan dengan menggunakan skema KPBU.

Jakarta Sewerage System

Melanjutkan studi yang telah dimulai sejak akhir tahun 2016, KPPIP dengan bantuan Indonesia Infrastructure Initiative (InDII) telah menyelesaikan scoping study untuk mengidenti kasi zona-zona Jakarta Sewerage System (JSS) yang berpotensi dikembangkan dengan skema KPBU. Berdasarkan studi tersebut, teridenti kasi bahwa JSS Zona 5 dan Zona 8 sebagai zona yang berpotensial untuk disiapkan dengan skema KPBU. Sebagai tindak lanjut hasil identi kasi, KPPIP bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Bank Pembangunan Asia (ADB) menyepakati bahwa JSS Zona 8 adalah zona yang akan dimintakan dukungan penyiapan proyek dengan skema KPBU oleh Asian Infrastructure Center of Exellence (AICOE), ADB. Pada bulan September 2017, KPPIP mengirimkan permohonan dukungan resmi melalui surat Ketua Tim Pelaksana KPPIP No. S-85/D. VI.M.EKON.KPPIP/09/2017 perihal “Request for Project Development Assistance for Jakarta Sewerage System Zone 8”. Hingga akhir tahun 2017, KPPIP masih melakukan komunikasi dengan AICOE terkait tindak lanjut permohonan dukungan tersebut serta pembahasan tahapan penyiapan studi dan transaksi KPBU bagi proyek JSS Zona 8.

Jalan Tol Serang – Panimbang

Pada Januari 2017, telah ditetapkan pemenang lelang konsesi Jalan Tol Serang – Panimbang, yaitu Konsorsium PT Wijaya Karya Tbk., PT Pembangunan Perumahan Tbk., dan PT Jababeka Infrastruktur. Proyek ini dikembangkan dengan skema Supported Build Operate Transfer (SBOT) dengan dukungan konstruksi pada sebagian ruas jalan tol dari pemerintah. Namun, dalam prosesnya, skema SBOT tidak dapat diimplementasikan karena e siensi anggaran. Maka dari itu, BPJT berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk perubahan skema dukungan pemerintah agar menggunakan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan/Availability Payment (AP). Pada bulan Juli 2017, Kementerian Keuangan melalui Surat No. S-17/MK.8/2017 menyetujui untuk mengubah dukungan kelayakan Pemerintah menjadi AP.

Dengan ditetapkannya skema AP sebagai bentuk dukungan Pemerintah untuk meningkatkan kelayakan proyek Jalan Tol Serang – Panimbang melalui konstruksi sepanjang 33 km (seksi Cileles – Panimbang), maka KPPIP memberikan dukungan dengan mengirimkan analisis dan rekomendasi atas rencana implementasi dukungan Pemerintah tersebut. Pada analisis tersebut, KPPIP menekankan dalam implementasi skema AP ini, dampak langsung yang akan terjadi adalah adanya BUJT baru yang memegang konsesi seksi Cileles – Panimbang, terlepas bila pemegang saham BUJT baru tersebut adalah konsorsium PT Wijaya Karya Serang – Panimbang (PT WKSP) dengan porsi penyertaan modal/saham yang sama seperti PT WKSP (kondisi 1) atau BUJT baru dengan pemegang saham yang berbeda (kondisi 2). Dari dua kondisi tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sehingga implementasi dukungan Pemerintah melalui skema AP dapat berjalan dengan baik dan efisien.

Pada kondisi 1, KPPIP mengingatkan bahwa perlu diperhatikan kemungkinan nilai NPV dukungan pemerintah dalam bentuk AP kepada PT WKSP menjadi lebih kecil dari pada bentuk dukungan Viability Gap Fund karena efek double taxation. Efek double taxation muncul karena pendapatan BUJT baru dalam bentuk AP dari Pemerintah dapat dikenakan pajak, yang kemudian berpengaruh terhadap nilai AP dari BUJT kepada pemegang saham BUJT Baru dalam bentuk dividen yang kembali dikenakan pajak. Untuk mencegah hal ini terjadi, perlu dilakukan perhitungan kembali agar pemberian dukungan dalam bentuk AP tidak mengurangi tingkat pengembalian investasi BUJT.

Pada kondisi 2, hal yang perlu diperhatikan adalah keselarasan kualitas konstruksi dan pemeliharaan jalan tol yang disediakan oleh BUJT baru dengan yang diharapkan oleh PT WKSP untuk menjamin kelancaran operasional jalan tol.
Terlepas dari kondisi 1 dan kondisi 2, hal-hal lain yang perlu untuk diperhatikan adalah:

  1. Legalitas pengakuan pendapatan dari user atas seksi jalan tol yang mendapat dukungan Pemerintah oleh PT WKSP karena pendapatan tersebut seharusnya merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada skema yang ditawarkan seluruh pendapatan tol diakui oleh PT WKSP; 
  2. Perlu dilakukan pembangunan pintu tol pada masing-masing ujung seksi Cileles-Panimbang agar dapat diusahakan secara terpisah dan pendapatan tol untuk seksi tersebut tidak tercampur dengan pendapatan tol keseluruhan ruas.

Berdasarkan analisis di atas, KPPIP merekomendasikan bahwa dengan adanya hal-hal yang berdampak pada potensi penurunan kelayakan PT WKSP berdasarkan PPJT awal, maka diperlukan pemberian kompensasi bagi PT WKSP melalui penyesuaian masa konsesi, tarif awal, atau mekanisme lainnya. Selain itu, KPPIP juga merekomendasikan agar disusun legal opinion atas pengakuan pendapatan jalan tol pada seksi Cileces – Panimbang oleh PT WKSP yang seharusnya diakui sebagai PNBP. Sedangkan untuk penyelarasan kualitas konstruksi dan pemeliharaan antara PT WKSP dan BUJT baru dapat dilakukan dengan perjanjian atau kesepakatan Business-to-Business. 

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota Tangerang (PLTSa Kota Tangerang)

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota Tangerang (PLTSa Kota Tangerang) merupakan proyek pengolahan sampah dari TPA Rawa Kucing Kota Tangerang menjadi listrik. Saat ini TPA Rawa Kucing telah menampung sampah tidak kurang dari 1.400 ton setiap harinya dengan konsep sanitary land ll dan diproyeksikan kapasitas TPA Rawa Kucing akan memenuhi kapasitas (daya tampung sampah) pada tahun 2029 yang mengakibatkan tumpukan sampah yang tidak terkendali. Oleh karena itu, salah satu solusi yang diusulkan adalah pengolahan sampah TPA Rawa Kucing menjadi energi lsitrik.

Sejak tahun 2010 hingga awal tahun 2017, Pra-Studi Kelayakan telah disusun oleh konsultan lokal. Berdasarkan keputusan pada Rapat Komite KPPIP tanggal 21 Juni 2017, PLTSa Kota Tangerang telah ditetapkan sebagai Proyek Prioritas. KPPIP memberikan dukungan terhadap pengecekan dan penyempurnaan Pra-Studi Kelayakan PLTSa Kota Tangerang pada Agustus 2017. Berdasarkan telaah tersebut, skema pendanaan yang diusulkan adalah KPBU karena pemerintah kota Tangerang telah menyatakan hanya dapat memberikan anggaran untuk processing fee sebesar Rp 100.000/ton. Oleh sebab itu dibutuhkan bantuan dari Pemerintah Pusat dan swasta untuk dapatmerealisasikan proyek PLTSa Tangerang. Pada September 2017, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan terkait permohonan pemberian fasilitas Project Development Facility (PDF) untuk proyek KPBU PLTSa Tangerang sebagai bentuk percepatan penyiapan proyek agar milestones proyek dapat tercapai.
Pada November 2017, Menteri Energi Sumber Daya Mineral mengirimkan surat kepada Direktur Utama PT PLN yang menugaskan PT PLN sebagai pengembang PLTSa Kota Tangerang. Menindaklanjuti surat penugasan tersebut, KPPIP melakukan kajian hukum dan nansial dengan hasil bahwa kewenangan penyelenggaraan pengelolaan sampah terdapat pada pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat, dan untuk menjaga nilai processing fee Rp 100.000/ton dibutuhkan bunga pinjaman bank di bawah 5%.
Berdasarkan hasil kajian tersebut, KPPIP menyarankan untuk melanjutkan Proyek PLTSa Kota Tangerang dengan menggunakan skema KPBU. Pemerintah Kota Tangerang menyatakan bahwa jika skema penugasan PT PLN belum sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku, maka Pemerintah Kota Tangerang dapat menerima penggunaan skema KPBU.

Pengembangan Industri Hilir dari Proyek-Proyek Hulu Migas

Salah satu isu yang dihadapi oleh proyek-proyek hulu migas, yang kini terdaftar sebagai Proyek Prioritas, adalah belum teralokasinya gas yang diproduksi dari lapangan-lapangan tersebut. Proyek- proyek hulu migas seperti Tangguh Train-3, Jambaran Tiung-Biru, dan Masela membutuhkan industri hilir migas yang siap untuk menerima pasokan gas yang akan diproduksi. Selain untuk ketenagalistrikan, gas tersebut juga dapat berperan penting dan menciptakan multiplier effect yang positif terhadap industri petrokimia di Indonesia.

Kementerian Perindustrian, sebagai kementerian yang menangani pengembangan industri petrokimia, memutuskan bahwa proyek pemanfaatan hilir gas yang pertama difokuskan adalah Kawasan Industri Teluk Bintuni, yang juga termasuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional, dan akan memanfaatkan sebagian gas dari proyek Tangguh Train-3 sebagai bahan baku.

Pabrik di Kawasan Industri Teluk Bintuni direncanakan untuk menghasilkan methanol yang merupakan komponen substitusi yang dapat dimanfaatkan untuk membuat bahan bakar seperti bensin dan LPG. Industri ini akan memiliki peran yang penting dalam meningkatkan ketahanan energi Indonesia.

Sejak bulan Oktober 2017, KPPIP berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dalam menyelenggarakan serangkaian sesi FGD untuk membahas skema pendanaan yang sesuai untuk pengembangan industri tersebut. Dalam FGD tersebut, KPPIP memberikan paparan tentang potensi skema pendanaan, terutama skema Penugasan BUMN dan skema KPBU, serta langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam tahap penyiapan proyek seperti penentuan PJPK dan penyusunan OBC.

Dalam sesi koordinasi yang dilaksanakan, K/L lain yang terkait seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas turut diundang untuk memberikan tambahan penjelasan tentang skema pendanaan.

Berdasarkan koordinasi dan diskusi yang dilaksanakan, Kementerian Perindustrian memutuskan proyek menggunakan skema KPBU untuk pengembangan Kawasan Industri Teluk Bintuni. Kementerian Perindustrian juga akan berperan sebagai PJPK untuk proyek tersebut.

c. Pemantauan dan DebottleneckIng Proyek

Pencapaian Kesepakatan terkait Perizinan Relokasi dan Peninggian SUTT/ SUTET Terdampak pada Trase Light Rail Transit (LRT) Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodebek)

Pembangunan proyek LRT Jabodebek telah dimulai sejak tahun 2016, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat sejumlah permasalahan yang membutuhkan koordinasi intensif antara pemangku kepentingan. Salah satu permasalahan yang membutuhkan percepatan dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan perizinan relokasi dan peninggian tapak tower SUTT/SUTET yang terdampak akibat pembangunan proyek LRT Jabodebek. Terdapat dua lokasi utama yang memerlukan perizinan dari instansi-instansi terkait yaitu di Area Taman Kota Cawang dan di Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Tol Jakarta – Cikampek (JAPEK).
Pada lokasi di Area Taman Kota Cawang, dibutuhkan relokasi tapak tower SUTT eksisting milik PT PLN yang terletak pada lahan dengan status Barang Milik Negara (BMN) Kementerian PUPR. Proses pencapaian kesepakatan terkait pemanfaatan lahan BMN membutuhkan kesepakatan diantara pemangku kepentingan terkait sebelum dikeluarkannya Izin Prinsip relokasi tapak tower eksisting oleh PT PLN.

Menanggapi hal tersebut, KPPIP memfasilitasi serangkaian rapat koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), PT PLN dan PT Adhi Karya. Hasilnya, telah disepakati bahwa pemanfaatan lahan BMN tersebut dapat digunakan untuk pembangunan tapak tower baru yang terdampak akibat proyek LRT Jabodebek dan tidak akan terjadi pengurangan hak atas aset baru yang dibangun oleh PT PLN. Selain itu, pelaksanaan pembangunan tapak tower baru dapat segera dilakukan selama proses pengalihan pemanfaatan BMN dan hak atas aset berjalan sehingga tidak menghambat jadwal pembangunan proyek LRT Jabodebek.

Selanjutnya, pada lokasi di RUMIJA Tol JAPEK, dibutuhkan peninggian tapak tower SUTT/SUTET eksisting milik PT PLN yang berhimpitan dengan pembangunan proyek LRT Jabodebek, Jalan Tol JAPEK Elevated II dan Kereta Cepat Jakarta – Bandung. Oleh karenanya, dibutuhkan kesepakatan terkait dengan ketinggian tapak tower yang memenuhi kebutuhan ketiga proyek. Namun, mengingat Dokumen Rencana Desain Terinci (DED) proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung belum tersedia, maka kebutuhan peninggian tapak tower eksisting belum diketahui sedangkan kebutuhan proyek LRT Jabodebek dan Jalan Tol JAPEK Elevated II sudah diketahui. Akibatnya, pembahasan terkait ketinggian tapak tower sempat terhenti.

Melihat kondisi ini, KPPIP memfasilitasi rapat koordinasi antara Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, PT PLN, PT Waskita Karya, PT Kereta Cepat Indonesia Cina dan PT Adhi Karya untuk mencapai kesepakatan terkait ketinggian tapak tower. Mengingat jadwal pembangunan proyek LRT Jabodebek dan Jalan Tol JAPEK Elevated II lebih dahulu dan telah adanya DED untuk kedua proyek yang dapat menentukan kebutuhan ketinggian tapak tower, maka disepakati ketinggian tapak tower akan mengakomodir kebutuhan kedua proyek tersebut terlebih dahulu.

Penandatanganan Loan Agreement Pelabuhan Patimban

Pada awal tahun 2017, KPPIP telah mengupayakan percepatan penerbitan Izin Lingkungan yang merupakan salah satu prasyarat administrasi yang perlu dipenuhi untuk pengajuan pinjaman luar negeri kepada Pemerintah Jepang melalui JICA. Pinjaman tersebut diperuntukkan untuk pembangunan tahap I proyek yang ditargetkan mulai pada awal tahun 2018. Selain memastikan penerbitan Izin Lingkungan, KPPIP juga melakukan pendampingan koordinasi lintas K/L selama proses pencairan pinjaman luar negeri, khususnya kepada Kementerian Perhubungan selaku Penanggung Jawab Proyek guna memastikan percepatan tahapan-tahapan penyusunan Loan Agreement oleh Pemerintah Indonesia dan Jepang, yaitu dari tahap inklusi proyek dalam Green Book hingga pertukaran Exchange of Notes. Hasilnya, proses pencairan pinjaman luar negeri dapat dilakukan dengan ditandatanganinya Loan Agreement pada tanggal 15 November 2017.

Pengambilan Keputusan terkait Porsi Pembiayaan MRT Jakarta Jalur Utara – Selatan

Proyek MRT Jakarta jalur Utara – Selatan menggunakan pendanaan APBN dan APBD dengan pinjaman asing yang bersumber dari Official Development Assistance (ODA). Rencana pinjaman Konstruksi Fase II dan tambahan Fase I MRT Jakarta Selatan – Utara sebesar USD 1.869 juta (satu miliar delapan ratus enam puluh sembilan juta US Dolar) telah tercantum dalam Green Book yang diterbitkan oleh Menteri PPN/Bappenas pada 14 Juli 2017. Pada 25 Agustus 2017, DPRD DKI Jakarta telah menyetujui permohonan Gubernur DKI Jakarta terkait pembiayaan Konstruksi Fase II dan tambahan Fase I proyek MRT Jakarta tersebut.

Sehubungan dengan pendanaan proyek yang menggunakan APBN dan APBD, maka perlu diputuskan komposisi porsi pembebanan pinjaman tersebut antara Pemerintah Pusat (APBN) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (APBD). Pada 17 Juli 2017, Menteri Keuangan mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengusulkan untuk membahas porsi pembebanan pinjaman tersebut melalui Forum KPPIP. Usulan ini berdasarkan pola sebelumnya dan memperhatikan bahwa proyek MRT Jakarta Koridor Selatan – Utara merupakan Proyek Strategis Nasional dan Proyek Prioritas. KPPIP memfasilitasi proses pengambilan keputusan terkait perihal tersebut dengan menyelenggarakan Rapat Tim Pelaksana KPPIP dan Rapat KPPIP tingkat Menteri. KPPIP juga melakukan analisis terhadap dokumen perjanjian terkait, risalah rapat terdahulu yang membahas pengambilan keputusan terkait hal ini, serta dampak terhadap timeline pengembangan proyek untuk setiap alternatif keputusan. Hasil analisis tersebut kemudian dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada Rapat KPPIP.

Pada akhirnya, dalam Rapat KPPIP tingkat Menteri Oktober 2017 diputuskan bahwa komposisi porsi pembebanan pinjaman pinjaman Konstruksi Fase II dan tambahan Fase I MRT Jakarta Selatan – Utara antara Pemerintah Pusat (APBN) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (APBD) adalah 49% Pemerintah Pusat dan 51% Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tindak lanjut dari pengambilan keputusan ini adalah penerbitan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengakomodasi hasil keputusan ini.

Pembentukan Tim Kerja Pengembangan Transit Oriented Development (TOD) Kampung Bandan untuk Proyek MRT Jakarta Jalur Utara – Selatan

KPPIP mengoordinasikan pertemuan para pemangku kepentingan terkait pembahasan rencana pembangunan depo MRT Jakarta yang akan terintegrasi dalam pengembangan TOD di Kampung Bandan, dimana salah satu fokus pengembangan TOD adalah pembangunan perumahan rakyat. Salah satu isu yang difokuskan untuk diselesaikan dalam pengembangan TOD tersebut adalah isu terkait penggunaan lahan di area Kampung Bandan.

Dalam penyelesaian isu tersebut, KPPIP mengoordinasikan pembahasan dan analisis terkait status lahan Kampung Bandan dan potensi isu dalam pengadaan lahan untuk pembangunan depo MRT Jakarta dan pengembangan TOD. Untuk mendukung perumusan rencana aksi penyelesaian isu, KPPIP mendapatkan data terkait status lahan Kampung Bandan (HPL dan HGB) dari PT KAI dan Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta, khususnya pada area yang direncanakan untuk dibangun depo MRT Jakarta.

Berdasarkan data terkait status lahan Kampung Bandan dari PT KAI dan Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta tersebut, telah teridenti kasi isu pada lahan dan tersusun rencana penyelesaian permasalahan isu tersebut. Melalui pembahasan pada beberapa rapat koordinasi, salah satu rencana aksi yang disepakati adalah pembentukan Tim Kerja Pengembangan TOD Kampung Bandan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kawasan TOD Kampung Bandan, dengan salah satu ruang lingkupnya adalah menyelesaikan permasalahan pengadaan lahan Kampung Bandan.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No.75 Tahun 2014 j.o Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2016, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua KPPIP memiliki wewenang untuk membentuk Tim Kerja sektor dan lintas sektor sebagaimana dibutuhkan. Contoh Tim Kerja yang telah dibentuk adalah Tim Kerja Ketenagalistrikan dan Tim Kerja Percepatan Pembangunan Kilang Minyak Bontang.

Pada Rapat KPPIP tingkat Menteri Oktober 2017, telah disetujui terkait pembentukan Tim Kerja ini. Selain berperan dalam penyelesaian permasalahan lahan, secara umum Tim Kerja akan berperan sebagai Komite Koordinasi TOD yang melakukan sinkronisasi Masterplan TOD dengan rencana pembangunan Depo MRT Jakarta dan Perumahan Rakyat, dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha. Tindak lanjut Rapat KPPIP tingkat menteri Oktober 2017 tersebut adalah penyusunan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian terkait pembentukan Tim Kerja ini. 

Percepatan Proses Persetujuan Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) pada Trase Jalan Tol Balikpapan – Samarinda

Mempertimbangkan kondisi topogra yang berupa lembah dan perbukitan, Pada bulan April 2017, PT Jasamarga Balikpapan Samarinda (PT JBS) mengajukan permohonan penambahan ROW di lokasi Tahura Bukit Soeharto kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Gubernur Kalimantan Timur. PT JBS juga telah melengkapi persyaratan dokumen sesuai dengan pasal 26 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 85 Tahun 2014.

Pada tanggal 30 Agustus 2017, mempertimbangkan belum adanya kemajuan yang signi kan terhadap pengajuan tersebut, KPPIP mengecek secara langsung status dari surat pengajuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Selain itu, KPPIP juga melakukan koordinasi dengan Kantor Staf Presiden untuk mendorong Kementerian LHK agar mempercepat persetujuan penambahan ROW tersebut.

Untuk memastikan segera terselesaikannya persetujuan tersebut, KPPIP membahas isu ini dalam Rapat Tim Pelaksana KPPIP pada tanggal 2 Oktober 2017 dan Rapat Koordinasi dalam rangka percepatan dan penyelesaian masalah Jalan Tol Balikpapan – Samarinda. Rapat tersebut mengundang stakeholders dan membahas setiap masalah secara mendetail beserta solusi dari permasalahan tersebut.

Namun berdasarkan kedua rapat tersebut, KPPIP menilai belum ada kemajuan yang signi kan khususnya dalam hal pemrosesan persetujuan penambahan untuk ROW. Oleh karena itu, KPPIP mengangkat isu ini ke Rapat Menteri KPPIP yang dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2017 untuk memastikan komitmen dari Menteri LHK dalam percepatan proses persetujuan penambahan ROW pada Tahura Bukit Soeharto. Berdasarkan hasil rapat tersebut, disepakati bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menyelesaikan persetujuan penambahan ROW pada Tahura Bukit Soeharto paling lambat dalam waktu 2 minggu.

Kesepakatan itu disampaikan melalui Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang dikirimkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada tanggal 3 November 2017, Kementerian LHK telah menerbitkan Surat No. S.627/KSDAE/PIKA/KSA.0/11/2017 tentang Persetujuan Naskah Perjanjian Kerjasama Penambahan Lahan ROW di Tahura Bukit Soeharto untuk Jalan Tol Balikpapan Samarinda.

Selain masalah tersebut, berdasarkan hasil rapat pada tanggal 10 Oktober 2017, disebutkan bahwa hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat antara opini legal Kejaksanaan, Gubernur Kalimantan Timur, dan Direktur Jenderal Pengadaan Tanah yang menyatakan bahwa pengadaan tanah pada area APL Bukit Tahura dapat dilakukan sesuai mekanisme pada Perpres No. 71 Tahun 2012, sedangkan BPKP Kalimatan Timur berpendapat bahwa pengadaan tanah dilakukan
sesuai dengan Perpres No. 51 Tahun 2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional.

Oleh karena itu, pada tanggal 23 Oktober 2017, diadakan diskusi antara Ketua Pelaksana KPPIP, Dirjen Pengadanaan Tanah, Kepala BPJT, dan Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian dan Kemaritiman, BPKP. Dalam diskusi tersebut, disepakati bahwa penyelesaian pengadaan tanah pada area tersebut dapat dilanjutkan sesuai dengan Perpres 71/2012.

Pengadaan Tanah Jalan Tol Manado – Bitung

KPPIP secara aktif melalukan monitoring dan debottlenecking kegiatan pengadaan tanah dan konstruksi dari Jalan Tol Manado – Bitung. Salah satu isu utama dari proses pengadaan tanah jalan tol ini adalah lambatnya proses penyelesaian pengadaan tanah dengan mekanisme konsinyasi. Selain itu, sempat terjadi penolakan nilai UGR oleh sebagian besar warga yang tanahnya terdampak. Nilai penggatian hasil dari independent appraisal dianggap terlalu rendah. Setelah dilakukan evaluasi dan appraisal ulang, terdapat kenaikan nilai UGR yang ditawarkan sehingga sebagian besar warga mau menerima nilai tersebut.

Dalam penyelesaian berbagai masalah tersebut, KPPIP berkoordinasi dengan berbagai pihak salah satunya melalui Rapat Koordinasi Jalan Tol Manado – Bitung yang dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2017. Dalam rapat tersebut, dibahas beberapa permasalahaan yang terjadi, khususnya terkait dengan pengadaan lahan. Terkait dengan isu pada pengadaan tanah, salah satu isu yang dipaparkan adalah isu tentang Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Wilayah Sulawesi Utara akan pensiun per 1 September 2017. Oleh karena itu, KPPIP membantu memastikan Badan Pertanahan Nasional Pusat untuk menyiapkan penggantinya dan segera memulai proses transisi agar proses transisi berjalan dengan lancar dan tidak menghambat proses pengadaan tanah secara umum.

Kemudian, dipaparkan juga bahwa pada pengadaan tanah dengan mekanisme konsinyasi, seringkali proses berlarut-larut dan lebih lama dari ketentuan yang tercantum pada peraturan perundang-undangan sehingga menghambat kemajuan pengadaan tanah. Oleh karena itu, dalam upaya KPPIP untuk mendorong percepatan mekanisme konsinyasi, KPPIP dan Kantor Staf Presiden mendorong Mahkamah Agung untuk melakukan upaya percepatan terhadap proses mekanisme konsinyasi. Salah satu upaya tersebut adalah melalui Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada Ketua Mahkamah Agung tertanggal 31 Agustus 2017 tentang Permohonan Percepatan mekanisme konsinyasi pada pengadaan tanah bagi pembangunan Proyek Infrastruktur Strategis Nasional (PSN) dan Infrastruktur Prioritas untuk kepentingan umum.

Percepatan Dimulainya E/S JSS Zona 1

Prioritas pertama pembangunan Proyek Jakarta Sewerage System (JSS) adalah Zona 1 dan 6 yang didanai dengan pinjaman luar negri dari Jepang. Sebagai zona prioritas, groundbreaking kedua zona tersebut ditargetkan dimulai paling lambat pada tahun 2018. Debottlenecking untuk Proyek JSS berfokus pada percepatan proses pengajuan dan pelaksanaan pinjaman yang akan mendanai konstruksi JSS.

Pinjaman untuk pengembangan Zona 1 dibagi menjadi dua bagian pinjaman, yaitu bagian engineering service dan bagian konstruksi. Pinjaman untuk pengembangan Zona 6 direncanakan berbentuk satu paket pinjaman dengan konsep design and build untuk bagian Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL).

Terkait JSS Zona 1, pada tahun 2017 proses pengadaan untuk Pekerjaan Engineering Service untuk JSS Zona 1 telah selesai dan pekerjaan engineering service telah dimulai oleh konsorsium Yachiyo Engineering dan beberapa perusahaan konsultansi teknis lokal. Konsorsium konsultan telah menyelesaikan beberapa tahap awal assessment teknis seperti misalnya aspek teknis terkait opsi penggunaan sistem interceptor, separate, atau hybrid dengan mempertimbangkan biaya pembangunan dan biaya operation and maintenance.

Percepatan Proses PDF SPAM Semarang Barat

SPAM Semarang Barat adalah proyek SPAM dengan potensi kapasitas 1.050 liter per detik yang akan melayani 80.000 kepala keluarga di tiga kecamatan di Kota Semarang bagian barat yaitu Semarang Barat, Tugu dan Ngaliyan. Proyek ini direncanakan sebagai pilot project SPAM tingkat kota dengan skema KPBU di Indonesia. Saat ini proyek dalam tahap penyiapan lelang KPBU.

Penyiapan lelang KPBU Proyek SPAM Semarang Barat dilaksanakan dengan menggunakan project development facility yang diberikan oleh Direktorat PDPPI Kementerian Keuangan melalui penugasan PT SMI. Pihak Direktorat PDPPI dan PT SMI telah melakukan kick-off pendampingan transaksi bersama konsultan teknis, nansial, dan legal yang akan membantu hingga selesainya Financial Close.
Konsultan teknis yang terpilih adalah PT IIF yang sebelumnya pernah terlibat dalam penyiapan proyek KPBU SPAM Semarang Barat pada tahun 2014. Sedangkan untuk konsultan teknis dan legal yang tepilih adalah PT SMEC Denka dan rma hukum AYMP Law.

Penetapan PJPK SPAM Jatiluhur

SPAM Jatiluhur adalah Proyek SPAM yang mengutilisasi debit air Waduk Jatiluhur untuk pengolahan, pentrasminsian, dan pendistribusian air ke wilayah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta dengan kapasitas 5.000 liter per detik. SPAM Jatiluhur telah disepakati untuk dilaksanakan dengan skema KPBU, dimana perusahaan patungan BUMD dan BUMN terkait sebagai unsolicited bidder. Proyek ini saat ini dalam tahap penyiapan dokumen pre- feasibility study oleh unsolicited bidder.

Permasalahan dari proyek SPAM Jatiluhur adalah belum adanya dasar yang cukup kuat terkait penugasan Perum Jasa Tirta sebagai PJPK untuk Proyek SPAM Jatiluhur. Dengan demikian perlu dilakukan kajian hukum atas hal tersebut. Setelah dilakukan kajian hukum disimpulkan bahwa yangn paling tepat untuk menjadi PJPK adalah BUMN yang membidangi air minum karena proyek ini merupakan proyek lintas provinsi.

Ketiadaan BUMN yang memiliki fokus pengelolaan air minum menjadikan Perum Jasa Tirta II menjadi kandidat terkuat PJPK karena Perum Jasa Tirta mengelola Waduk Jatiluhur. Secara formal, Perum Jasa Tirta II ditetapkan sebagai PJPK untuk Proyek SPAM Jatiluhur melalui Keputusan Menteri No. 561/KPTS/M/2017 tentang Penugasan Kepada Direktur Utama PJT II sebagai PJPK Proyek KPBU SPAM Jatiluhur.

Penerbitan Surat Diskresi Izin Penetapan Lokasi oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk Proyek Central West Java Transmission Line 500 kV

Pada April 2017, KPPIP bekerja sama dengan Kantor Sekretariat Wakil Presiden dalam penyelenggaraan rapat koordinasi dengan pemangku kepentingan untuk membahas permasalahan pengadaan tanah yang dihadapi Proyek Central West Java Transmission Line 500 kV. Salah satu fokus masalah yang dibahas adalah terkait Izin Penetapan Lokasi pada lima kabupaten yang telah diperpanjang satu kali dan telah habis masa berlakunya. Berdasarkan Undang Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Penetapan Lokasi hanya dapat diperpanjang satu kali.

Berdasarkan hasil rapat tersebut, KPPIP mendorong penerbitan Surat No. S-42/D.III.MEKON/05/2017 tentang Permohonan Tindak Lanjut Izin Perpanjangan Penetapan Lokasi oleh Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kepada Direktur Jenderal Pengadaan Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Tujuan dari penerbitan surat adalah pemberian rekomendasi/ dispensasi di luar peraturan Undang Undang No. 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Gubernur Provinsi Jawa Tengah. Pada bulan Juli 2017, dengan dukungan dari KPPIP, Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan PT PLN, Surat No. 2567/29.1/VII/2017 terkait Dispensasi/ Rekomendasi Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Jalur SUTET 500 kV PLTU Tanjung Jati – Tx (Ungarang – Pedan) diterbitkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang kepada Gubernur Provinsi Jawa Tengah. Surat tersebut menyatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang memberikan dispensasi/rekomendasi pembaharuan Penetapan Lokasi dengan jangka waktu dua tahun kepada Gubernur Provinsi Jawa Tengah untuk lima kabupaten meliputi Kabupaten Pati, Kudus, Grobogan, Demak, dan Semarang.

Hingga saat ini, KPPIP bersama dengan Kantor Sekretariat Wakil Presiden memantau dan mengawal kegiatan pengadaan tanah Proyek Central West Java Transmission Line 500 kV. Pada bulan November 2017, pengadaan tanah dari ruas Tanjung Jati – Tx, ruas Tx – Mandirancan, dan ruas Mandirancan – Cibatu Baru telah mencapai 67%. Sedangkan untuk pelaksanaan konstruksi pondasi tower telah mencapai 3,5% atau 48 dari total 1.386 tapak tower.

Tata Ruang dan Pengadaan Tanah Transmisi Sumatera

Pada tahun 2017, proyek Transmisi Sumatera 500 kV melanjutkan kegiatan proses pengadaan tanah dan konstruksi pondasi tapak tower. Dalam rangka percepatan pembangunan proyek Transmisi Sumatera 500 kV, KPPIP mendukung debottlenecking permasalahan dalam proses pengadaan tanah. Hambatan-hambatan yang dihadapi antara lain: 1) pengadaan tanah instansi swasta dan pemerintah dan 2) pemantauan penerbitan Peraturan Daerah (Perda) RTRW Provinsi Riau.

Pada November 2017, KPPIP mengadakan rapat koordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan rencana tindak lanjut penyelesaian masalah pengadaan tanah instansi pemerintah dan swasta. Berdasarkan hasil rapat tersebut, PT Waskita Karya dan PT Agrowiyana akan berkoordinasi dengan Credit Suisse Singapura terkait rencana peminjaman sertifikat lahan. Selanjutnya untuk lahan instansi pemerintah, para pemangku kepentingan menyetujui penggunaan lahannya untuk kepentingan Proyek Transmisi Sumatera 500 kV. Sementara menunggu diskusi antara PT PLN, PT Waskita Karya dan instansi pemerintah terkait skema pengadaan tanah yang akan digunakan, KPPIP mengusulkan agar PT PLN dan PT Waskita Karya untuk mengajukan Izin Mendahului kepada instansi pemerintah sehingga proses konstruksi dapat dilakukan.

KPPIP melakukan pemantauan secara intensif terkait penerbitan Rancangan Perda (RaPerda) RTRW Provinsi Riau. Pada September 2017, status RaPerda RTRW Provinsi Riau telah disestujui oleh DPRD Provinsi Riau. Sebagai bentuk tindak lanjut, pada Oktober 2017, telah diadakan rapat evaluasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya, dibutuhkan rapat teknis untuk mengakomodasi lokasi pembangkit pada RUPTL 2017- 2026 yang belum tercantum di dalam RaPerda RTRW Provinsi Riau.

Tidak hanya itu, pada bulan Oktober 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri untuk menolak RaPerda RTRW Provinsi Riau karena dibutuhkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis terkait perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Sebagai bentuk tindak lanjut untuk penyelesaian masalah penerbitan RaPerda RTRW Provinsi Riau maka akan dilakukan Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden.

Debottlenecking Pencapaian Financial Close Pembangkit Listrik IPP dengan Total Kapasitas 7.810 MW

Dalam rangka percepatan pembangunan Program 35.000 MW, KPPIP melakukan pemantauan dan debottlenecking pembangkit IPP yang sudah PPA untuk mencapai financial close. Sejak tahun 2016 hingga Desember 2017, KPPIP telah berhasil mendorong 14 pembangkit IPP untuk mencapai financial close dengan total kapasitas 7.810 MW. Di tahun 2017 sendiri, KPPIP berhasil mendorong 13 pembangkit IPP mencapai financial close dengan total kapasitas 5.810 MW.

Hingga saat ini terdapat tiga pembangkit IPP yang terhambat akibat permasalahan pengadaan tanah dengan total kapasitas 2.135 MW dan empat pembangkit IPP dengan total kapasitas 2.270 MW terhambat karena belum mencapai nalisasi harga jual listrik. KPPIP secara khusus memberikan dukungan dalam pengadaan tanah dan koordinasi untuk percepatan nalisasi persetujuan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN). Berdasarkan hasil Rapat Komite KPPIP pada tanggal 21 Juni 2017, PT PLN berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan lima pembangkit IPP yang bermasalah terhadap finalisasi harga jual beli listrik dan amandemen PPA pada bulan Agustus 2017. Sebagai bentuk tindak lanjut, KPPIP menyiapkan kronologis dari setiap pembangkit IPP dan mengadakan rapat koordinasi dengan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM dan Direksi PT PLN pada Juli 2017 untuk mencapai kesepakatan rencana tindak lanjut. Selanjutnya, pada Oktober 2017, telah dicapai penandatanganan PPA PLTU Mulut Tambang Sumsel-8 (2×660 MW) dengan revisi target COD yang dimajukan menjadi tahun 2021 untuk Unit-I dan tahun 2022 untuk Unit-II serta penggunaan teknologi super-critical. Selain itu pada November 2017, PLTP Rantau Dedap (86 MW) telah berhasil mencapai kesepakatan harga dan nancial close. Sedangkan untuk tiga pembangkit IPP lainnya, berdasarkan Surat Menteri Energi Sumber Daya Mineral dan arahan Presiden pada Agustus 2017, diharapkan untuk melanjutkan proses negosiasi harga jual beli listrik dengan PT PLN. Hingga saat ini, kesepakatan harga belum dapat dicapai dan masih dalam proses negosiasi.

Selain itu, KPPIP juga memberikan dukungan debottlenecking kepada PLTU Cirebon Ekspansi (1×1.000 MW) yang menghadapi permasalahan hukum, yaitu pencabutan Izin Lingkungan akibat Rekomendasi Tata Ruang BKPRN dianggap tidak kuat. Pada Mei 2017, Menteri Agraria dan Tata Ruang telah menerbitkan Rekomendasi Pemanfaatan Ruang untuk PLTU Cirebon Ekspansi. Untuk mendukung pencapaian nancial close, KPPIP mendorong penerbitan Surat Dukungan Pemerintah Indonesia dari Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada JBIC yang diterbitkan pada Oktober 2017. Tidak hanya itu, KPPIP juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan PT PLN untuk mendorong penerbitan GOI Consent Letter. Dengan diterbitkannya GOI Consent Letter oleh Kementerian Keuangan, nancial close PLTU Cirebon Ekspansi dapat dicapai pada November 2017.

Konstruksi PLTU Batang

Setelah pencapaian nancial close pada tahun 2016, saat ini PLTU Batang sedang dalam tahap konstruksi yang dipantau oleh KPPIP. Pada Oktober 2017, KPPIP dan PT PLN melakukan diskusi terkait jadwal pembangunan GITET 500 kV Batang, GI 150 kV, dan SUTT 150 kV Batang yang akan dibangun oleh PT PLN. Namun, kegiatan tersebut belum termasuk dalam AMDAL eksisting, yang saat ini Izin Lingkungan dimiliki oleh PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI).

Pada Oktober 2017, KPPIP mengadakan rapat koordinasi pembahasan percepatan penyelesaian Izin Pembangunan GITET 500/150 kV dan SUTT 150 kV pada proyek PLTU Batang. Dari hasil rapat tersebut disepakati bahwa PT PLN beserta dengan konsultan AMDAL akan berkoordinasi sejak awal dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Tengah dan menargetkan untuk mengirimkan usulan Dokumen Adendum AMDAL pada akhir November 2017.

Selanjutnya, mengingat adanya penambahan lingkup kerja pembangunan GITET, GI dan SUTT yang dikerjakan oleh PT PLN pada PLTU Batang, maka dibutuhkan amandemen Power Purchase Agreement (PPA). Pihak PT PLN UIP Jawa Bagian Tengah II diharapkan dapat mengirimkan surat kepada Kepada Divisi Konstruksi Jawa Bagian Tengah dengan tembusan kepada Kepala Satuan IPP PLN untuk dapat memproses kelanjutan amandemen PPA dengan pihak PT BPI. PT BPI menyatakan bahwa akan diupayakan penyerahan area konstruksi kepada PT PLN pada Januari 2018.

Setelah diadakan diskusi bilateral antara PT PLN dengan PT BPI, maka telah diputuskan bahwa PT PLN akan mengerjakan pembangunan GITET, GI, dan SUTT Batang setelah PT BPI menyelesaikan konstruksi sehingga tidak perlu dilakukan amandemen PPA. Pada November 2017, KPPIP dan PT BPI melakukan koordinasi terkait kesepakatan antara PT PLN dan PT BPI. PT BPI menyatakan bahwa PT PLN saat ini sedang mempertimbangkan kesepakatan untuk PT PLN melakukan konstruksi GITET 500/150 kV dan SUTT 150 kV setelah PT BPI menyelesaikan konstruksi. KPPIP akan melakukan koordinasi kembali dengan PT PLN dan PT BPI untuk dapat menghasilkan kesepakatan terkait jadwal pembangunan GITET 500/150 kV dan SUTT 150 kV.

Pengadaan Tanah Kilang Minyak Tuban

Dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Kerjasama (KSP) BMN oleh Menteri Keuangan untuk lahan KLHK di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, konsorsium Pertamina-Rosneft menghendaki pengubahan skema dari pemanfaatan KSP menjadi pemindahtanganan tukar menukar. Permohonan tersebut disampaikan dalam bentuk surat permohonan audiensi kepada Menteri Keuangan, Menteri LHK, dan Kantor Staf Presiden. Alasan pengubahan skema tersebut adalah klausul Kontribusi Bagi Hasil yang dinilai bukan common practice dalam skema Joint Venture, persyaratan pendirian bangunan/fasilitas untuk KLHK, dan status kepemilikan kilang pasca-periode skema KSP.

Sebelum surat tersebut dikirimkan oleh PT Pertamina, KPPIP mengoordinasikan serangkaian pembahasan antara pemangku kepentingan terkait antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian LHK, dan PT Pertamina. Dengan mempertimbangkan analisis KPPIP tentang kesesuaian berbagai skema pemanfaatan/ pemindahtanganan BMN serta masukan dari berbagai K/L, PT Pertamina memutuskan untuk mengubah skema pemanfaatan KSP menjadi skema pemindahtanganan tukar menukar.

KPPIP mendukung koordinasi tentang keberlanjutan proses pengubahan skema tersebut yang masih berlangsung. PT Pertamina bersama KLKHK akan menyusun daftar aset preliminary yang diusulkan untuk dimasukkan dalam daftar Tukar Menukar dengan lahan KLHK. Daftar aset tersebut akan dijadikan lampiran bagi PT Pertamina untuk memohon secara formal kepada KLHK untuk mengubah skema pemanfaatan. Pihak KLHK selaku Pengguna Barang, selanjutnya akan mengirim surat permohonan pengubahan skema pemanfaatan lahan BMN kepada Kementerian Keuangan selaku Pengelola Barang.

D. PencapaIan Dalam PerbaIkan Peraturan Terkait Infrastruktur

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) untuk Izin Jetty Pembangkit Listrik

Dalam Rapat Komite KPPIP tanggal 21 Juni 2017 telah dibahas beberapa masalah utama yang menghambat penyediaan Proyek Prioritas diantaranya masalah kesesuaian tata ruang. Salah satu proyek yang terkendala masalah tata ruang yang dibahas adalah PLTGU Bangka Peaker yang belum memperoleh Izin Lokasi untuk dermaga atau jetty karena Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bangka Belitung tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang menjadi dasar untuk perizinan jetty belum diterbitkan.

Selain pada kasus proyek PLTGU Bangka Peaker, belum terbitnya Perda tentang RZWP3K pada tiap-tiap provinsi berpotensi menghambat proses perizinan untuk Proyek Prioritas dan/atau Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya yang memanfaatkan wilayah pesisir. Oleh karena itu, diperlukan solusi cepat untuk memastikan pelaksanaan PSN tidak terhambat.

Di samping RZWP3K, regulasi yang berkaitan erat dengan pemanfaatan pesisir adalah Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN), yang saat ini tengah dalam proses harmonisasi sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah. Dalam penyusunan RTRLN, KPPIP diminta oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memberikan masukan guna memastikan bahwa proyek-proyek PSN maupun prioritas nantinya tidak lagi terkendala oleh isu-isu terkait pemanfaatan wilayah pesisir maupun tata ruang laut.

KPPIP telah mendukung KKP dalam melakukan validasi dan menyusun daftar PSN dan Proyek Prioritas yang perlu terdaftar dalam Lampiran proyek strategis Rencana Peraturan Pemerintah RTRLN serta mendukung kegiatan koordinasi dengan pemangku kepentingan yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan RTRLN.

Kajian Landasan Hukum dan Struktur Proyek termasuk Implikasi pada Tipping Fee untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)

Proyek PLTSa merupakan salah satu proyek PSN. Salah satu upaya percepatan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik berbasis Sampah di Tujuh Kota. Namun, Perpres tersebut dibatalkan melalui keputusan Mahkamah Agung karena: 1) Izin Lingkungan tidak dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan konstruksi dan 2) pembatasan ruang lingkup pada penggunaan teknologi termal tidak diperkenankan karena dianggap berdampak negatif terhadap kesehatan.

KPPIP melakukan identifikasi dan analisis terkait masalah yang dihadapi oleh proyek PLTSa. Berdasarkan hasil analisis terdapat empat potensi isu penghambat yaitu: 1) processing fee; 2) volume dan jenis sampah; 3) tarif jual beli listrik; dan 4) dukungan pemerintah pusat melalui AP atau VGF. KPPIP juga melakukan identi kasi terhadap upaya-upaya yang dapat dilakukan pemangku kepentingan untuk mengatasi isu-isu tersebut diantaranya: 1) struktur PLTSa dengan skema KPBU sebagai salah satu opsi untuk skema pendanaan; 2) perhitungan processing fee dari demand-side untuk memenuhi kebutuhan dari supply-side; 3) pemilihan lokasi pembangunan PLTSa dengan jarak transportasi ekonomis dari seluruh sumber sampah; 4) harga jual beli listrik untuk PLTSa dalam program percepatan berdasarkan Permen ESDM No. 50/2017; dan 5) dukungan pemerintah pusat melalui AP atau VGF untuk menekan biaya processing fee.

Berdasarkan hasil koordinasi dengan PT PLN dan Kementerian ESDM, harga jual beli listrik dari Proyek PLTSa dalam program percepatan telah disepakati akan mengacu pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa harga jual listrik untuk proyek PLTSa yang masuk dalam program percepatan akan mengacu pada Permen ESDM sebelumnya, Permen ESDM No. 44/2015, yaitu 18,77 cent/kWh.

Hasil koordinasi dengan pemerintah daerah, untuk Proyek PLTSa Tangerang dan PLTSa Bandung Raya akan menggunakan skema KPBU sebagai usaha untuk menekan processing fee. Untuk Proyek PLTSa di enam kota lainnya sedang dalam tahap penyusunan pra- feasibility study.

Kebijakan terkait Penanganan Coal Ash di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang

Peningkatan jumlah PLTU dalam percepatan Program 35.000 MW menimbulkan permasalahan coal ash yang dihasilkan melebihi jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh industri. Salah satu upaya yang disarankan oleh PT PLN adalah pengecualian coal ash dari daftar zat limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) sehingga prosedur pemanfaatan coal ash dapat dipermudah tanpa harus melakukan revisi dokumen AMDAL.

Namun perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri LHK No. 55 Tahun 2015 tentang Tata Cara Uji Karakteristik Limbah B3, pengecualian coal ash dapat dilakukan untuk proyek tertentu yang dapat memenuhi persyaratan. Selain itu, KLHK saat ini sedang menyusun penyusunan Peraturan Menteri (Permen) terkait Persyaratan Teknis dan Tata Cara Penempatan Kembali Limbah B3 di Area Bekas
Tambang, namun kegiatan back lling hanya dapat dilakukan jika pemilik limbah dan area bekas tambang adalah satu entitas.

Pada Agustus 2017, KPPIP bekerja sama dengan Kantor Sekretariat Wakil Presiden mengadakan rapat koordinasi dengan PT PLN dan KLHK untuk membahas penanganan y ash dan bottom ash (FABA) yang berasal dari sisa pembakaran PLTU Batu Bara, khususnya PLTU Mulut Tambang. Rapat koordinasi ini dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan antara pemangku kepentingan terkait penanganan FABA dari PLTU Mulut Tambang. Pemangku kepentingan yang hadir dalam rapat di antaranya Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Infrastruktur dan Investasi, Direktur Pengelolaan Limbah B3 KLHK, perwakilan Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR, PT PLN, BPKP, Jam Datun Kejaksaan Agung dan KPPIP. Adapun hasil keputusan rapat yang telah disetujui meliputi:

  1. Penanganan FABA dapat dilakukan dengan peraturan yang telah ada;
  2. Pengecualian penanganan limbah B3, khususnya FABA dapat dilakukan melalui 3 alternatif:
    1) pemanfaatan by product;
    2) back filling; dan 3) land fill;
    3. Penanganan FABA melalui pengecualian harus dilakukan melalui permohonan yang bertindak sebagai penanggungjawab pengelola FABA;
  3. Kegiatan back lling bagi FABA dapat dilakukan bila:
    • Entitas tambang sama dengan entitias pemilik FABA atau ada penanggung jawab untuk back filling selama 30 tahun, misalnya PT PLN atau institusi pengembang yang dapat menjadi penanggung jawab;
    • Kegiatan back filling tercantum di dalam dokumen lingkungan;
    • Kegiatan back filling sesuai dengan tata cara penutupan tambang.

Untuk pengembangan PLTU Mulut Tambang di Sumatera dan Kalimantan, PT PLN telah menugaskan PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali. Pada Agustus 2017, KPPIP mengadakan rapat koordinasi dengan Indonesia Power dan Pembangkitan Jawa Bali untuk menyampaikan hasil keputusan rapat dengan KLHK terkait pengelolaan FABA dari PLTU Mulut Tambang. Berdasarkan hasil rapat tersebut, PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali akan mempersiapkan Dokumen AMDAL dengan memasukan kegiatan back filling dan mencantumkan penanggung jawab kegiatan.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 140 Tahun 2017 tentang Penugasan Perseroan Terbatas Mass Rapid Transit Jakarta sebagai Operator Utama Pengelola Kawasan Transit Oriented Development Koridor Utara - Selatan Fase 1

Dalam penyelenggaraan proyek Mass Rapid Transit di Jakarta, salah satu faktor utama yang diperhatikan adalah tercapainya kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan. Kebutuhan pendanaan tersebut dapat tercapai dengan struktur keuangan yang berkelanjutan, yang terdiri dari proyeksi pendapatan farebox (penjualan tiket), proyeksi pengeluaran, proyeksi pendapatan non-farebox (pendapatan selain dari penjualan tiket, seperti iklan, penyewaan area, dan sebagainya), dan proyeksi kebutuhan bantuan Pemerintah (subsidi).
Melihat secara spesi k pada pendapatan non-farebox, salah satu peluang untuk dapat mengoptimalkan pendapatan non-farebox tersebut adalah dengan pengembangan Transit Oriented Development (TOD). Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit, pengembangan TOD adalah konsep pengembangan kawasan di dalam dan di sekitar tempat yang diperuntukkan bagi pergantian intermoda dan antarmoda agar bernilai tambah.

Untuk dapat menjadi operator utama pengelola kawasan TOD pada jalur MRT Selatan – Utara di Jakarta, PT MRT Jakarta mengirimkan surat kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menugaskan/menetapkan PT MRT Jakarta sebagai operator utama pengelola Kawasan TOD pada jalur Utara – Selatan Fase I (13 kawasan) dan Fase II (8 kawasan). Pada 6 Oktober 2017, Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 140 Tahun 2017 tentang Penugasan Perseroan Terbatas Mass Rapid Transit Jakarta sebagai Operator Utama Pengelola Kawasan Transit Oriented Development Koridor Utara – Selatan Fase 1 telah ditetapkan.

Berdasarkan Pasal 4 pada Peraturan Gubernur tersebut, kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan TOD untuk dikelola oleh PT MRT Jakarta sebagai tahap awal hanya pada beberapa Kawasan TOD dalam koridor MRT Jakarta, yaitu kawasan Bundaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora Senayan, Blok M, dan Lebak Bulus. Terhadap lokasi lain sepanjang jalur Utara – Selatan harus dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait daya dukung dan daya tampung kawasan.

Dengan Peraturan Gubernur ini, diharapkan PT MRT Jakarta dapat mengusahakan pengembangan fungsi komersial dalam kawasan TOD yang memberi nilai tambah dan keuntungan komersial sebagai sumber pendapatan non-farebox.

Kajian Tarif untuk Penyediaan Air Minum

Penyediaan air minum memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan standar atau taraf/kualitas hidup masyarakat dan menekan angka penderita penyakit yang berhubungan dengan kualitas sanitasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sarana dan prasarana air minum dilakukan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang dibentuk oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota.

Dalam usaha pengembangannya, Pemerintah telah memulai langkah restrukturisasi PDAM untuk menjadi perusahaan yang sehat melalui penghapusan utang. Dengan demikian, masalah yang masih perlu mendapat perhatian saat ini adalah implementasi kebijakan penetapan tarif air.

Salah satu upaya untuk mengkaji penetapan tarif air di Indonesia adalah dengan melakukan analisis international benchmark dengan melihat penerapannya di negara-negara lain seperti Inggris dan Australia. KPPIP telah melakukan analisis international benchmark terkait penetapan tarif air minum di Indonesia. Analisis terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Menghitung perbandingan biaya produksi air minum keran dan harga jualnya serta harga jual Air Minum Dalam Kemasan (AMDK); dan
  2. Melakukan analisis perbandingan dari hasil international benchmark dengan kondisi di Indonesia saat ini sehingga diperoleh hipotesis kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay/ WTP) dari tarif air yang berlaku.

Berikut adalah hasil analisis international benchmark yang telah dilakukan oleh KPPIP.

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Rata-rata tingkat laba kotor penjualan air minum keran di Indonesia mencapai ~20%, dimana jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan penjualan di Inggris dan Australia yang rata-rata tingkat laba kotornya mencapai ~70%; dan
  2. Masyarakat di Indonesia bersedia membayar AMDK dengan rata-rata harga per liternya 1.173 kali lebih mahal dibandingkan air minum keran. Hal ini serupa dengan yang terjadi di Australia (1.206 kali), namun berbeda cukup jauh dengan kondisi di Inggris, dimana masyarakatnya hanya membayar AMDK dengan harga 205 kali lebih mahal dari air minum keran.

Melihat kondisi ini, PDAM di Indonesia perlu mengkaji ulang struktur penetapan tarif yang ada karena tingkat laba kotor yang rendah (20%). Rendahnya tingkat laba kotor ini juga dapat berdampak pada sedikitnya peluang bagi PDAM di Indonesia untuk menghasilkan tingkat margin laba bersih yang lebih tinggi. 

Penerapan Skema Availability Payment melalui Badan Usaha Milik Daerah

Pembayaran Ketersediaan Layanan atau Availability Payment (AP) adalah salah satu bentuk dukungan skal yang dapat diberikan oleh Pemerintah dalam penyediaan infrastruktur.

Penerapan skema ketersediaan layanan untuk proyek dengan pemerintah pusat sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 260 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam Proyek KPBU, sedankan penerapan skema ketersediaan layanan untuk proyek dengan pemerintah daerah sebagai PJPK telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 96 Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur di Daerah.

Penerapan skema ketersediaan layanan yang belum diatur adalah jika PJPK merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Proyek-proyek dimana yang menjadi PJPK adalah BUMD banyak ditemui pada proyek-proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Dalam hal diperlukan penerapan pembayaran ketersediaan layanan, maka dapat diterapkan skema alternatif sebagai berikut:

  • Alternatif 1 : Penyertaan modal daerah kepada BUMD sebagai modal awal pembayaran ketersediaan layanan oleh BUMD;
  • Alternatif 2 : Pembayaran langsung ketersediaan Layanan oleh pemerintah kota; dan
  • Alternatif 3 : Subsidi untuk pembayaran ketersediaan layanan.