Menko Darmin beberkan PR besar pemerintah wujudkan reforma agraria
- On 05/11/2018
Merdeka.com – Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah mendudukkan reforma agraria dalam payung yang lebih luas yaitu pemerataan ekonomi yang terdiri dari 3 pilar besar. Salah satunya mengenai legalisasi aset yang ujung tombaknya adalah reforma agraria.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah berkomitmen untuk melegalisasi aset hingga 9 juta bidang lahan di 2019. “Kenapa itu penting? karena tanpa legalisasi aset, kepastian hukum, itu rendah sekali,” kata Menko Darmin saat membuka rakornas Gugus Tugas Reforma Agraria di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (31/10).
Menko Darmin mengungkapkan, banyak pihak menyalahartikan bahwa reforma agraria hanya sebatas sertifikasi. Padahal, itu hanya merupakan salah satu bagian saja. “Mengkritik bahwa reforma agraria kok sertifikasi tanah? termasuk, tapi tidak hanya itu, itu adalah satu langkah,” paparnya.
Dia menjelaskan, legalisasi aset sangat penting sebab banyak sekali lahan yang belum memiliki sertifikasi sementara lahan sudah dimiliki selama bertahun-tahun oleh warga. Padahal, jika lahan sudah memiliki sertifikasi akan ada banyak keuntungan yang didapat oleh si pemilik lahan tersebut.
“Kenapa itu penting dipercepat legalisasi aset? karena Republik ini sudah 73 tahun, sebagian tanah rakyat belum disertifikasi. Kalau sudah disertifikasi, selain ada kepastian hukum, juga dia bisa mendapatkan modal,” katanya.
Kemudian yang kedua adalah redistribusi aset yang sumbernya cukup beragam. Termasuk program transmigrasi yang tergolong ke dalam redistribusi aset. Selama ini, aturan tersebut tidak dijalankan dengan baik. Contohnya dalam hal pembukaan lahan baru oleh perusahaan.
“Aturan bahwa perusahaan besar buka perkebunan atau lahan, izin dari pemerintah juga. Aturan mainnya, 20 persen harus diberikan pada masyarakat di sekitarnya untuk berusaha. Nah, bagian yang ini kita akan menyelesaikannya melalui satu perpres dan satu inpres,” ujarnya.
Saat ini, reforma agraria sudah ada perpresnya nomor 86. Kemudian ada perpres PPTKH (Percepatan Penyelesaian Tanah dan Kawasan Hutan). Lalu, baru-baru ini terbit inpres moratorium kelapa sawit. Ada juga program perhutanan sosial dimana masyarakat diberi hak untuk mengelola kawasan hutan selama 35 tahun, namun bukan memberikan kepemilikan.
PPTKH sendiri sudah berjalan di kabupaten atau kota, ada tim (melalui menteri kehutanan) yang sedang mengidentifikasi tanah rakyat baik berupa kebun atau lahan lainnya yang masuk kawasan hutan.
“Kita akan carikan solusinya. kira-kira, kalau itu hutan konservasi, kita akan cari penggantinya. kalau hutan produksi, kita selesaikan sehingga dia redistribusi lahan. Tapi harus ada aturan main. jangan karena centeng, dia kuasai 12 hektar. Tapi mungkin orang lain mungkin 1 hektar. Jadi harus ada standarnya, kita tidak hanya mendistribusikan lahan, tapi kita akan terapkan standar dan model,” tegasnya.
Yang terkahir adalah peremajaan perkebunan. Di mana saat ini program tersebut sudah berjalan melalui peremajaan kebun kelapa sawit. Selain sawit, komoditi lain juga didorong untuk melakukan peremajaan perkebunan di mana pemerintah mendorong agar masyarakat bisa melaksanakannya dengan cara membuat suatu kluster agar dapat dibantu oleh pemerintah.
“Jadi kluster, diusahakan tanamannya itu tanaman utamanya sama. Kalau cabai ya cabai. Kalau jagung ya jagung, dan seterusnya. Mimpinya melalui menteri desa, saya sudah sampaikan beberapa kali kepada Pak Eko, Menteri Desa kan berurusan dengan desa. Semua sawah, kebun, kan ada di sana. Kita ingin dilakukan secara bertahap,” jelasnya.
Semua cakupan reforma agraria tersebut, akan memakan waktu yang tidak singkat. Butuh sedikitnya waktu 10 tahun untuk mewujudkan semuanya.
“Jadi ini pekerjaan besar, nggak selesai ini 10 tahun pun. Tapi kita harus mulai, sebenarnya ini harus dimulai 60 tahun yang lalu. Semua negara sudah dilakukan itu, cek satu per satu. India sudah, Korea sudah, Taiwan sudah, Malaysia sudah, Filipina sudah, kita belum,” tandasnya. [azz]
sumber : merdeka.com