Inovasi Pembiayaan Percepat Infrastruktur
- On 22/11/2017
JAKARTA. Pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia telah menjadi salah satu program pemerintahan Jokowi-JK yang mulai dilakukan sejak 2015. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, maka pos infrastruktur selalu mendapat porsi terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan dari tahun ke tahun anggaran infrastruktur terus meningkat, mulai Rp 154,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 269,1 triliun pada 2016 dan mencapai Rp 401,1 triliun pada APBN-P 2017.
Tahun depan, pemerintah kembali menganggarkan setidaknya Rp 410 triliun untuk pembangunan infrastruktur dari Sabang sampai Merauke. Akibat masifnya pembangunan infrastruktur tersebut maka berdasarkan laporan Global Competitiveness Index 2017-2018 yang dirilis World Economic Forum pada September lalu, daya saing Indonesia meningkat dari peringkat ke-41 pada 2016 menjadi ke-36 pada tahun ini.
Ke depan, kehadiran infrastruktur diharapkan mampu menghilangkan ketimpangan antar wilayah yang tinggi termasuk menurunkan biaya logistik yang besar. Selain itu, kehadiran beberapa proyek infrastruktur juga memberikan manfaat bagi mobilisasi masyarakat sekitar.
Sebagai contoh, Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu yang awal bulan November diresmikan mampu mengurangi tingkat kemacetan hingga 50 persen. Bahkan kehadiran tol yang pembangunannya sempat terhenti selama 21 tahun ini semakin mempercepat jarak tempuh masyarakat dari Jakarta-Bekasi dan sebaliknya menjadi 30 menit dari waktu tempuh normal 1,5 jam.
Tiang-tiang yang sebelumnya terbengkalai tak lagi terlihat sejak PT Waskita Toll Road mengakuisisi PT Kresna Kusuma Dyandra Marga dan memulai pengerjaan jalan tol pada awal 2015. Hadirnya Tol Becakayu bukan saja dapat menjadi alternatif masyarakat menuju Jakarta atau Bekasi, melainkan juga turut menambah jaringan jalan tol di Jabodetabek. Tol juga segera tersambung dengan Jalan Tol Wiyoto Wiyono dan Jakarta-Cikampek.
Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah terus memacu pembangunan infrastruktur transportasi massal seperti mass rapid transit (MRT) Jakarta serta light rail transit (LRT) Jabodetabek. Targetnya pada 2019 nanti, MRT sudah dapat dinikmati warga Jakarta. Sebuah kebanggaan bersama bahwa MRT pertama di Indonesia itu segera terwujud.
Meski daya saing meningkat, namun kualitas infrastruktur Indonesia masih berada di peringkat ke-52 dari 137 negara, atau masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura yang berada di peringkat ke-2 atau Malaysia di urutan ke-22.
Kian inovatif
Untuk mengejar target pembangunan infrastruktur, biaya menjadi salah satu faktor yang cukup diperhitungkan. Pasalnya APBN tidak akan mungkin sanggup menutup semua biaya pembangunan infrastruktur tersebut. Karena itu diperlukan inovasi pembiayaan agar proses pembangunan infrastruktur tidak terhambat. Tak hanya inovatif, skema pembiayaan juga harus dibuat lebih luwes sehingga sektor BUMN termasuk swasta yang terlibat bisa semakin lebih luas.
Hasil studi Dana Moneter Internasional (2014) menunjukkan, kenaikan investasi infrastruktur publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun menengah. Satu persen kenaikan investasi infrastruktur publik di negara berkembang bakal meningkatkan output sebesar 0,1 persen pada tahun tersebut, dan 0,25 persen empat tahun kemudian.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, pembiayaan inovatif diperlukan untuk menggenjot infrastruktur. Salah satu inovasi itu adalah public private partnership yang merupakan kerjasama antara BUMN dengan swasta. Dengan begitu, pemerintah bisa lebih fokus pada pengembangan proyek infrastruktur yang kurang diminati investor, misalnya proyek air minum dan irigasi.
“Saat ini pun sudah ada sejumlah proyek pemerintah yang bekerja sama dengan swasta, seperti Palapa Ring dan pembangkit listrik di Batam,” ujar Pakpahan pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertajuk “Amankah Pembiayaan Infrastruktur Negara?” Jumat (17/11/2017) di Jakarta.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ikut menyambut baik kehadiran inovasi pembiayaan tersebut termasuk untuk mempercepat konektivitas transportasi Tanah Air. Saat ini kebutuhan anggaran sektor transportasi setiap tahunnya dapat mencapai Rp 1.500 triliun. Dari jumlah tersebut, pembiayaan dari APBN per tahun sekitar Rp 250 triliun. “Ada gap antara kebutuhan dan anggaran yang ada sehingga diperlukan kerja sama dengan swasta,” ujarnya.
Untuk itu Kementerian Perhubungan senantiasa mendorong kerja sama BUMN dan swasta dalam mengelola aset negara di wilayah kerja Kementerian Perhubungan, seperti bandara dan pelabuhan. Kerja sama itu untuk meningkatkan pelayanan, daya saing ekonomi, dan partisipasi modal untuk mengembangkan aset.
Meski begitu, pemerintah memiliki tiga klasifikasi proyek infrastruktur sebelum melakukan kerja sama dengan swasta. Pertama, jika suatu proyek kurang layak secara ekonomi (feasible), maka akan dibangun menggunakan APBN murni.
Klasifikasi kedua adalah jika proyek di antara layak dan tidak. Untuk kategori ini proyek pembangunan akan didanai dengan cara kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah atau BUMN dengan swasta. Adapun yang terakhir adalah jika proyek itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi, yang mana proyek tersebut bisa dikerjakan oleh swasta. Tentunya, untuk pengelolaan aset tersebut ada jaminan bagi swasta dari pemerintah.
Sejauh ini, di sektor transportasi perhubungan setidaknya ada 10 bandara dan 20 pelabuhan yang bakal ditawarkan pengelolaannya kepada swasta. Tentunya, bandara dan pelabuhan yang ditawarkan pengelolaannya itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi. Bandara itu antara lain Labuan Bajo, Sentani, Banyuwangi, Radin Inten, Tarakan, Palu, Sabang, Sibolga, dan Bengkulu. Sementara itu, pelabuhan tersebut antara lain Bitung, Ternate, Manokwari, Kendari, dan Biak.
Kerja sama itu bakal menggunakan skema pengelolaan aset milik negara. Adapun jangka waktu kerja sama operasional terbatas maksimal 30 tahun. Selain itu, semua aset juga tetap dikuasai negara. Dari kerja sama dengan swasta itu, imbuh Budi, anggaran negara bahkan dapat dihemat hingga Rp 1 triliun. Anggaran itu tentunya dapat dialihkan untuk hal-hal produktif lain, yakni membangun infrastruktur di daerah terluar, tertinggal, terdepan (3T).
Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk Desi Arryani menuturkan, pembiayaan swasta baik untuk mempercepat pengoperasian jalan tol. “Jasa Marga memiliki konsesi 1.260 kilometer jalan tol, dan yang telah beroperasi tahun lalu sekitar 593 kilometer. Masih banyak kilometer mesti dikejar dan diselesaikan,” katanya.
Dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu 2017-2019, Jasa Marga juga harus mengoperasikan 600 kilometer jalan baru dengan target 200 kilometer per tahunnya. Sebagai korporasi Jasa Marga memiliki keterbatasan modal dan utang. Mau tak mau, Jasa Marga membutuhkan sumber pundi-pundi baru untuk mengakselerasi pembangunan tol itu.
Dengan ekuitas Rp 16,3 triliun, Jasa Marga juga mesti berhati-hati menentukan jumlah pinjamannya. Pasalnya, Jasa Marga adalah perusahaan terbuka, yang sewaktu-waktu pemegang sahamnya dapat khawatir saat menilai pinjaman terlalu tinggi.”Jadi kami putuskan melakukan sekuritisasi. Kami cari mana nih skema yang tidak berbenturan dengan regulasi,” kata Desi.
Artinya, sekuritisasi aset negara berupa jalan tol bukanlah penjualan aset, namun lebih kepada kerjasama pembiayaan proyek. Menurut Desi, selama ini Jasa Marga memiliki historis laporan keuangan yang stabil sehingga kebijakan sekuritasi pendapatan masa depan menjadi hal logis. Calon investor pun yakin terhadap reputasinya.
Pada tahap pertama sekuritisasi, Jasa Marga telah melepas ruas Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dengan jangka waktu 5 tahun. “Hasilnya kami bisa dapat sampai Rp 2 triliun. Ke depannya mungkin akan sekuritisasi lagi, karena ini kan baru awal, istilahnya tes pasar,” ujar Desi.
Desi menambahkan, selain kerja sama dengan swasta, Jasa Marga juga membuat anak usaha lebih mandiri mencari pendanaan. Misalnya, dengan menjual obligasi berbasis proyek. Hal itu sebagaimana telah dilakukan pada ruas Tol JORR W2 (Meruya-Ulujami).
“Sekuritisasi aset itu hanya menjual future income, bukan menjual aset. Aset-aset yang disekuritisasi Jasa Marga adalah jalan-jalan tol yang income-nya sudah stabil selama bertahun-tahun sehingga bisa mendapat kepercayaan investor,” tambah Desi.
Melihat fakta itu, pembangunan infrastruktur tentunya tak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, tetapi butuh kerja sama dengan pihak lain, seperti swasta. Muara dari semua itu adalah semua lapisan masyarakat bisa merasakan hasil dari infrastruktur yang terbangun. Keadilan sosial pun niscaya terwujud merata bagi segenap rakyat, dari ujung barat hingga timur di Indonesia.
Sumber: kontan.co.id