Meluruskan Kembali Makna Percepatan dalam Penyediaan Infrastruktur
- On 11/04/2018
Oleh: Wahyu Utomo
Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP)
Rentetan kecelakaan yang terjadi dalam proyek infrastruktur strategis nasional sepanjang 2017 hingga awal 2018 sontak mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Dalam pemberitaan media massa, muncul opini yang mengaitkan berbagai kecelakaan tersebut dengan kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Opini yang berkembang adalah karena pemerintah sedang melakukan percepatan pembangunan infrastruktur, menyebabkan infrastruktur dikerjakan secara tergesa-gesa dan asal jadi sehingga menyebabkan kecelakaan. Pemerintah bahkan disamakan dengan pengemudi angkutan umum yang tergesa-gesa karena mengejar setoran. Untuk itu, perlu diluruskan kembali pemahaman akan makna percepatan dalam pembangunan infrastruktur.
Kebijakan Percepatan Infrastruktur
Penggunaan istilah percepatan dalam program pemerintah Indonesia bukan sesuatu yang baru. Program percepatan di Indonesia sudah banyak dilakukan di berbagai bidang mulai dari pemberantasan korupsi (2004), penanggulangan kemiskinan (2010), ekonomi (2011), pembangunan desa (2017), dan lain-lain. Kebijakan percepatan dipandang sebagai suatu tindakan afirmatif (affirmative action) untuk mengejar kondisi ketertinggalan Indonesia di berbagai bidang. Jika program dijalankan secara normal saja (asbusiness as usual), niscaya Indonesia tidak akan dapat mengejar ketertinggalan.
Sejak tahun 2001 pemerintah telah berupaya untuk melakukan percepatan pembangunan dan penyediaan infrastruktur dengan membentuk Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) melalui Keputusan Presiden nomor 81 tahun 2001. Pada tahun 2005 komite ini berganti nama menjadi Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) melalui Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2005. Pada masa akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, komite ini kembali berubah nama dan juga bentuk serta kewenangan menjadi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) melalui Perpres nomor 75 tahun 2014 yang kemudian diperkuat kembali tugas dan fungsinya pada era pemerintahan Joko Widodo melalui Perpres nomor 122 tahun 2016.
Berbagai komite percepatan infrastruktur yang dibentuk diatas menunjukkan bahwa kebijakan percepatan infrastruktur telah dimulai jauh sebelum masa pemerintahan saat ini. Meski demikian, baru pada masa pemerintahan Joko Widodo pembangunan infrastruktur seakan marak dan gencar dilakukan. Hal itu tidak lepas dari target capaian penyediaan infrastruktur yang terbilang besar dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 pemerintah menargetkan beberapa capaian penyediaaninfrastruktur diantaranya membangun 1.000 km jalan tol baru, 2.650 km jalan baru, 2.159 km kereta api perkotaan, 1.099 km kereta api antar kota, 15 bandara baru, 24 pelabuhan baru, 33 bendungan baru dan 30 PLTA, serta kilang minyak baru dengan kapasitas 2×300.000 barel.
Apa Yang Dipercepat?
Hal yang perlu dipahami adalah bahwa penyediaan infrastruktur merupakan suatu kegiatan yang memerlukan proses panjang sejak perencanaan hingga dapat beroperasi.
Tahap pertama yang dilakukan dalam proses penyediaan infrastruktur adalah tahap penyiapan proyek. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam tahap penyiapan meliputi kajian awal (Outline Business Case/OBC) dan kajian akhir (Final Business Case/FBC) jika proyek akan didorong dengan pola Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Selain itu dalam tahap penyiapan juga dilakukan studi kelayakan (feasibility study), studi tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), penentuan trase, penetapan lokasi dan penentuan skema pendanaan proyek.
Tahap selanjutnya adalah tahap perizinan dan pembebasan lahan. Di tahap inilah seringkali ditemukan permasalahan yang sering memakan waktu lama dan melampaui target waktu yang direncanakan. Dulu sebelum ada kebijakan percepatan, proses perizinan dan pembebasan lahan seringkali memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hal itu disebabkan karena sulitnya koordinasi antar kementerian dan juga dengan dinas terkait di daerah. Banyak proyek infrastruktur terkatung-katung dan akhirnya mangkrak dikarenakan persoalan izin dan pembebasan lahan yang tidak kunjung selesai.
Setelah tahap penyiapan, perizinan dan pembebasan lahan selesai, tahap selanjutnya terutama dalam proyek prioritas terdapat tahap transaksi. Dalam tahap ini, beberapa proyek yang sudah memenuhi kelayakan finansial akan ditawarkan kepada badan usaha baik BUMN maupun swasta untuk dilakukan kerjasama.
Keterbatasan dana pemerintah dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia mengharuskan adanya berbagai skema pembiayaan alternatif. Beberapa skema pembiayaan alternatif yang sedang dikembangkan seperti penerbitan instrumen Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA) dan Implementasi sekuritisasi aset atau Efek Beragun Aset (EBA) pada proyek infrastruktur komersial.
Selain itu pemerintah juga sedang mengembangkan Skema Kerjasama Pengelolaan Aset Terbatas (KePAT) atau Limited Concession Scheme (LCS) yang bertujuan untuk menyediakan sumber dana segar dengan cepat untuk pembangunan infrastruktur yang sangat mendesak. Dalam skema ini konsesi atas pengembangan dan operasi aset eksisting diberikan kepada badan usaha swasta selama batas waktu tertentu. Pemegang konsesi diharapkan membayar pembayaran di muka (upfront payment), pembayaran periodik, dan pembagian keuntungan (clawback).
Setelah semua persiapan, perencanaan hingga transaksi dapat terselesaikan, barulah masuk pada tahap konstruksi yakni dimulainya pembangunan fisik pada proyek konstruksi hingga dapat beroperasi.
Dalam tahap konstruksi, kewenangan diberikan sepenuhnya pada penanggung jawab proyek dan kontaktor yang melaksanakan pekerjaan. Pemerintah hanya berfungsi sebagai pembina teknis proses konstruksi yang tugasnya mengawasi peraturan dan pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang menentukan kualitas pelaksanaan pekerjaan, kualitas pekerja, kualitas produk, hingga sistem pengawasan. Pemerintah baru turun tangan jika terjadi permasalahan yang menghambat proses konstruksi.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kebijakan percepatan dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia lebih menitikberatkan pada proses penyiapan, perizinan, pembebasan lahan dan tahap transaksi (khusus KPBU). Sementara proses konstruksi berjalan sesuai dengan target waktu yang telah ditentukan dalam perencanaan.
Oleh karena itulah makna percepatan dalam penyediaan infrastruktur lebih diartikan sebagai bentuk garansi dari pemerintah bahwa proses pembangunan infrastruktur dapat diselesaikan sesuai dengan target waktu yang direncanakan. Sehingga tidak benar jika kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur dianggap sebagai proses yang tergesa-gesa yang mengabaikan aspek keselamatan.
Tulisan ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia. Selasa, 10 April 2018